Aliran Sungai Citarum, yang  membentang dari kawasan  pegunungan di selatan Kabupaten  Bandung hingga bermuara di Laut  Jawa, wilayah bagian utara Kabupaten  Purwakarta, merupakan urat nadi  perekonomian yang penting bukan hanya  untuk kawasan Jawa Barat, melainkan  juga nasional.
Kapasitas airnya menjadi sumber  pasokan penting bagi tiga waduk  pembangkit listrik tenaga air (PLTA): PLTA Saguling. PLTA Cirata, dan PLTA Jatiluhur. Air yang tergenang di tiga waduk itu pun menjadi wahana bagi peternak ikan keramba jaring apung. Yang tak kalah penting, Sungai Citarum  juga berfungsi sebagai pemasok air  baku (termasuk 80% sumber air bagi DKI Jakarta), irigasi pertanian,  pariwisata, dan pengendalian banjir.
Belakangan, kondisi daerah aliran Sungai (DAS) Citarum mengalami penurunan kualitas, sehingga daya dukung pada fungsi-fungsi itu pun turut anjlok. Apa saja yang membuat  penurunan kualitas ini? Rivki Maulana dari GATRA mencari tahu akar  permasalahannya dengan menelusuri sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat itu. Berikut hasil penelusurannya.
Embusan angin mengusir kepulan asap dari  ujung rokok kretek  Sundaya. Petani budi  daya ikan tawar di Waduk Cirata ini tak kuasa menyembunyikan rasa galau. “Terus terang saja, kali ini saya rugi Rp 100 juta,” kata pria 39 tahun itu. Pria berkumis itu punya 10 unit keramba jaring apung (KJA) di daerah  Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat. Satu unit KJA terdiri dari empat petak  “kolam” berukuran 7 x 7 meter. Pada musim panen belakangan, menurut Sundaya, produktivitas ikan di KJA-nya turun hingga separuhnya.
Seiring dengan penurunan produktivitas ikan itu, Sundaya juga mengeluhkan penurunan daya serap ikan terhadap pakan yang ditebar. Dari satu porsi pakan yang ditebar, hanya separuhnya yang dilahap ikan.  Sisanya mengendap di dasar waduk.  Sisa makanan yang tersedementasi  ini lama-kelamaan menjadi polutan, sehingga mengurangi kualitas air  baku Sungai Citarum. Bak lingkaran setan, penurunan kualitas air itu  ujung-ujungnya membuat produksi  ikan menukik tajam. Tentu konsumsi terhadap pakan pun ikut melorot.
Gabungan Pengusaha Makanan Temak (GPMT) merasakan betul penurunan konsumsi pakan temak ikan  itu. Berdasarkan data GPMT, menurut  Denny D. Indradjajam, Ketua Pakan Akuakultur GPMT, hingga tahun 1997 konsumsi pakan ikan di Waduk Saguling  masih rnencapai 4.000 ton per bulan. Kemudian merosot tajam hingga tinggal  400 ton per bulan pada 2001. Daya serap pakan ikan di waduk ini mencapai titik  nadir pada tahun lalu, yakni hanya 100  ton per bulan.
Fenomena serupa terjadi di Waduk  Cirata, yang konsumsi pakan ikannya lebih besar. Pad a periode 1999-2002,  rata-rata konsumsinya 12.000 ton per bulan. Pada tahun lalu, angka itu menukik tajam, tinggal 4.000 ton per bulan. Namun, di Waduk Jatiluhur,  konsumsi justru naik menjadi 4.000 ton per bulan. Padahal, sebelum tahun 2005,  konsumsi pakan per bulannya cuma 1.500 ton. “Kenaikan ini terjadi karena penurunan kualitas air di Saguling dan  Cirata menyebabkan pemilik KJA di dua  waduk itu secara berangsur hijrah ke  Jatiluhur,” ujar Denny.
Memang selama ini jumlah  peternak ikan KJA di Jatiluhur tidak sebanyak di Cirata. Direktur Utama  Perum Jasa Tirta II, Eddy Suriadiredja, memperkirakan bahwa KJA di Jatiluhur mencapai 20.000 petak. “Ini tidak sampai separuh jumlah KJA di Cirata,”  katanya. Sensus Badan Pengelola Waduk  Cirata (BPWC) menyebutkan, jumlah KJA di Cirata mencapai 51.418 unit.
Bahkan jumlahnya akan lebih  banyak jika mernjuk pada perhitungan  Asosiasi Pembudi Daya Ikan dan  Nelayan Danau Cirata (Aspindac), organisasi yang dipimpin Sundaya.  Aspindac mencatat angka 57.000 unit KJA. “Dari perhitungan kasar, sejak 2007 ada penambahan 1.500 petak per tahun,” tutur Sundaya.
Bagi Sundaya dan ribuan rekannya di Aspindac, jumlah KJA sebanyak itu jelas meresahkan. ”Jumlah KJA sudah melampaui daya dukung waduk terhadap ekosistem perikanan,” katanya. Maklum saja, berdasarkan data yang dirilis  BPWC, idealnya jumlah maksimum  KJA di waduk itu hanya 12.000 petak. Angka ini pun muncul tanpa dasar riset ilmiah.
Fenomena KJA pertama kali  muncul pada 1988 sebagai kompensasi bagi warga sebanyak 1.500 kepala keluarga yang lahannya tergenang untuk pembangunan waduk. Awalnya tidak ada aturan perihal jumlah KJA yang diperbolehkan beroperasi. Pembatasan  12.000 petak KJA baru muncul pada  2002 melalui Surat Keputusan Gubemur Jawa BaratNomor4112002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan  Pertanian dan Kawasan Waduk. “Setelah belasan tahun, baru ada aturan. Jadi, sudah telanjur untuk membatasi,” kata  Suhata E. Putra, Kepala BPWC.
Bisnis KJA memang menggiurkan. Aspindac menaksir, setiap KJA butuh  investasi Rp 50 juta. Bayangkan jika dikalikan dengan 57.000 KJA, berarti  ada modal Rp 2,85 trilyun yang tertanam di bisnis ini. “Belum lagi duit  yang berputar dari multiplier-effect dari  bisnis ini,” kata Sundaya. Daya tarik  inilah yang membuat orang berduit dari luar kawasan waduk, seperti dari Jakarta dan Bandung, ramai-ramai menanamkan  duit di bisnis ini.
Dengan sokongan duit besar, pebisnis dari luar kawasan waduk itu membangun KJA dalam jumlah besar.  Hal ini membuat jumlah petaninya  justru menyusut, walau jumlah KJA terns  menggelembung. Hasil sensus 2007 memperlihatkan, jumlah petani KJA  sebanyak 2.838 orang atau menurun jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang  mencapai 3.400-an orang. Studi BPWC menunjukkan, banyak petani kecil yang  menjual keramba mereka kepada petani bermodal besar. Tak mengherankan jika di Cirata, sejumlah petani rata-rata  memiliki 400 hingga 600 petak keramba.
Semakin sesaknya KJA di Cirata  itulah yang membuat kualitas air sungai  jadi menurun. Sebab, menurut Denny,  penyebab utama penurunan kualitas ini sebenarnya bukan oleh sedimentasi pakan ikan yang tidak dikonsumsi, seperti dikeluhkan Sundaya. Melainkan  lebih disebabkan sedimentasi hasil metabolisme ikan yang jumlahnya berlebihan.
Kualitas air diperburuk oleh polutan dari limbah domestik dan kegiatan manusia di atas KJA. Banyak  peternak ikan dan pegawainya yang sehari-hari beraktivitas di atas KJA, termasuk mandi, mencuci, dan membuang hajat di waduk. “Setiap bulan, tinja yang dibuang ke danau  mencapai 11 ton,” ujar Sundaya.
Ancaman Styrofoam  dan Herpes
Selain jumlahnya yang melebihi kapasitas, secara fisik bahan pelampung  KJA pun memicu masalah signifikan. Menurut Suhata, hampir 60% KJA memakai styrofoam sebagai pelampung jala. Pada 2007, persentase KJA berstyrofoam masih 43,94%. Sisanya  memanfaatkan drum besi. Jika dua jenis pelampung ini hancur, tak banyak pemilik  KJA yang mengangkatnya ke darat.
Hal itu makin mengotori waduk. Apalagi, masih ada saja petemak ikan  yang memakai styrofoam bekas sebagai pelampung jala. Styrofoam menjadi problem pelik karena sifatnya yang sulit terurai. Karena itu, BPWC berusaha mengolah sampah styrofoam menjadi briket bahan bangunan.
Selain itu, serangan virus herpes juga mengancam para petani ikan. Kepadatan KJA membuat penyebaran virus ini semakin cepat. “Kami kerap merugi jika virus herpes menyerang,” kata Sundaya.
Para petani juga kerap merugi jika terjadi arus balik (upwelling). Bencana ini kerap terjadi pada awal musim hujan, ketika arus di bawah permukaan menjadi deras. Akibatnya, sedimen dan beragam polutan yang bersemayam di  dasar terangkat. Kadar oksigen terlarut  (DO) pun menjadi rendah. Akibatnya,  banyak ikan yang mati. Menurut catatan BPWC, pada]anuari 2009 terjadi kematian massal ikan hingga meneapai  500.000 ton.
Kematian massal ikan itu  disebabkan tingginya kadar polutan. Yaya Hudaya, staf ahli ekologi dan  lingkungan BPWC, mengungkapkan  bahwa dari hasil uji kualitas air pada  triwulan keempat 2010, terjadi  peningkatan kadar polutan, terutama untuk parameter penting, seperti  oksigen terlarut (DO), COD, BOD, dan coliform (pemeriksaan bakteriologis air  bersih dari jenis coliform).
COD (chemical oxygen demand)  artinya kebutuhan oksigen kimia untuk  reaksi oksidasi terhadap bahan buangan  di dalam air. BOD (biological oxygen  demand) artinya kebutuhan oksigen  biologis untuk memeeah bahan buangan di air oleh mikroorganisme. Parameter DO berbanding terbalik dengan BOD  dan COD. Semakin besar angka DO-  nya, kadar BOD dan COD-nya akan  semakin kecil. Begitu juga sebaliknya.
Setidaknya ada tiga titik penting  dari delapan lokasi yang menjadi  prioritas pengamatan, yakni titik 4 (pusat  KJA), titik 2 (intake –saluran air untuk  turbin), dan titik 8 (muara Cimeta).  Titik 8 mendapat atensi guna melihat  pengaruh kualitas air akibat operasional  Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Titik 4 untuk mengetahui dampak keberadaan KJA terhadap  kualitas air. Sedangkan titik 2 untuk  menilik kualitas air terhadap korosivitas  pembangkit listrik dan fisik bendungan.
Di titik 4, kata Yaya, air pada  kedalaman lima meter yang dijadikan  perhatian. Pasalnya, KJA berkedalaman  delapan meter. Hasil pengukuran di  titik 4 menunjukkan, kadar DO hanya 2,07 mg/l, jauh dari angka ideal 6 mg/l. Analoginya, dalam kamar yang sempit terdapat banyak orang, jadi sumpek. Adapun kadar BOD di titik ini adalah 6,46 mg/l (ideal 6mg/l), sedangkan COD sebesar 12,15 mg/l (idealnya 10 mg/l). BOD timbul dari limbah domestik, seperti limbah pertanian, sedangkan COD dari limbah industri.
Di titik 2, kadar BOD dan COD-nya lebih parah ketimbang di titik 4. Kadar BOD di zona intake mencapai 7,37 mg/l, sedangkan COD-nya 14,31  mgll. Adapun kadar DO-nya berada di  angka 4,57 mg/l. Hasil pengukuran di titik 2 ini patut dibandingkan dengan  pengukuran di titik 8. Titik ini menjadi  indikasi adanya limpahan polutan dari TPA Sarimukti ke Cirata melalui Sungai Cimeta.
Di titik 8, kadar BOD 12,88 mg/l; COD 18,40 mgll; E. coli 240.000 sel/100 ml, dan coliform 460.000 sel/100 ml. Yaya  menuturkan, parameter E. coli, coliform, dan H2S penting untuk melihat dampak kualitas air terhadap korosi PLTA. Untuk E. coli, terjadi kenaikan yang  tajam karena angka baku mutunya 2.000  sel/l00 ml. “Ini sama kayakngambil air  di WC,” tutur Suhata.
Laju Proses “Osteoporosis”  PLTA

Meski begitu, Yaya mengakui, angka itu adalah hasil terbaik sepanjang  riset BPWC. Jika pada triwulan ketiga 2010 angka coliform mencapai 1,2 juta sell 100 ml, maka tak lama setelah TPA Sarimukti beroperasi pada akhir 2005, angka coliform pernah mencapai 4,2 juta sel/100 ml. Kondisi ini menyebabkan bendungan mengalami korosi di atas batas normal.
Ketika dilakukan inspeksi bendungan pada 2005-2006, indeks  korosi mencapai 0,955, padahal batas  normalnya adalah 0,75. Parameter  korosi bendungan ini dilihat dari kadar  nitrogen, sulfat, dan keasaman. “Jadi,  ibarat manusia, itu osteoporosis-lah,”  kata Yaya.
Korosi juga menyerang  infrastruktur PLTA, dari pipa drainase,  turbin, hingga radiator pendingin  genset. BPWC dan PJB Unit  Pembangkitan Cirata bekerja ekstra  guna memelihara infrastruktur itu.  Untuk menahan laju korosi, Suhata  mengatakan, pihaknya berusaha  meningkatkan kualitas infrastruktur. “Jika dulu kualitas tiga, kini kualitas  satu,” ujarnya.
Status Waduk Cirata sendiri, berdasarkan Surat Keputusan (SK)  Gubernur Jawa Barat Nomor 3912000  dan Peraturan Pemerintah Nomor  8212001, adalah buruk (C). Namun  masih baik untuk operasional PLTA (status B). Persoalan belum tuntas. Pasalnya, SK gubernur itu tidak  menyertakan parameter penting untuk  pengukuran kualitas air, seperti BOD,  COD, dan sulfat.
Padahal, dari hasil pengukuran terlihat jelas, kadar BOD dan COD-nya lebih tinggi dari baku mutu. “Berpijak  pada SK gubernur itu, mau berapa pun  (polutan) yang masuk, itu nggak masalah karena angka parameter BOD dan  COD-nya nol,” kata Yaya.
Parameter penting lain yang memicu korosi adalah sulfat. Tapi kandungan sulfat ternyata labil. Terkadang bisa diukur, tapi kadang-kadang malah tak terdeteksi. Ini terjadi karena sulfat di air sangat mudah  menjadi gas dan lepas ke udara. Karena itu, pada triwulan keempat 2010, kandungan sulfatnya “tt” atau tidak  terdeteksi. Sedangkan pada triwulan  ketiga tercatat 0,025 mg/l.
Yang lebih mengenaskan, SK Gubernur Jawa Barat itu tidak mencantumkan angka baku mutu sulfat untuk PLTA Regulasi yang ada baru sebatas untuk perairan, pertanian, dan  perikanan yang mengalir, bukan yang  tergenang seperti waduk.
Dari uji kadar polutan tadi, BPWC menyimpulkan, baik untuk KJA maupun  fungsi PLTA, kualitas air Cirata sudah  tidak menyehatkan. Status ini ditambah dengan laju sedimentasi yang melewati  batas angka desain Waduk Cirata pada saat dibuat tahun 1987.
Pada 2007, rerata laju sedimentasinya 7,28 juta meter kubik, melebihi desain awal bendungan sebesar 5,67 meter kubik. Yaya mencontohkan, di titik bendungan, kriteria desain elevasinya 115 mdpl, tapi hasil pengukuran mencapai 122-123 mdpl. ”Jadi bertambah tebal 7 meter dari  desain awal,” tuturnya.
Melihat baku mutu air di Waduk  Cirata itu, baik Aspindac maupun  BPWC punya kesimpulan sarna. KJA  harus dibatasi. Untuk mengendalikan populasinya, BPWC pun melakukan  zonasi. “Ini untuk menertibkan tata  ruang KJA,” kata Suhata.
Wilayahnya dibagi menjadi tiga  zona berdasarkan wilayah administratif, yakni Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur. Setiap pemilik harus menjaga bloknya agar tidak dimasuki KJA baru. Selain itu, atap KJA harus diberi warna. “Biar bisa kami pantau supaya nggak  pindah,” ujar Suhata.
Bagian penting lainnya adalah perizinan. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, Ahmad Hadadi,  menjelaskan bahwa ada dokumen perizinan yang harus dipegang pemilik  KJA. Antara lain surat penempatan  lokasi dari BPWC dan IUP sesuai  dengan Perda Nomor 1412002 serta rekomendasi dari Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta. “Mulai April 2011, Dinas Perikanan Jawa Barat setiap dua  pekan melakukan jemput bola dengan  mengirim unit mobil pelayanan,”  katanya.
Izin KJA nantinya lebih  diprioritaskan bagi warga lokal.  Targetnya, pada 2013 operasi penertiban  mulai dilakukan. “Yang tidak punya izin nanti kami gusur,” kata Ahmad  Hadadi. Pembatasan itu penting demi  kelangsungan ekosistem waduk. Ia meminta pemilik KJA punya komitmen  yang tinggi terhadap lingkungan.
Pihak BPWC, bersama Aspindac,  juga telah menyosialisasikan larangan  styrofoam. KJA yang rusak dan tidak  difungsikan akan ditarik. Menurut  Suhata, sebanyak 30% KJA di Cirata  tidak digunakan dan pemiliknya enggan  menarik KJA itu ke darat. “Ongkosnya  lumayan mahal,” tuturnya.
Di pihak lain, Sundaya  menjabarkan, Aspindac berikhtiar  menjaring pemilik KJA agar persoalan kualitas air di Cirata bisa ditangani  secara tanggung renteng. Sayang, kini  anggota Aspindac hanya 1.000 petani,  jauh dari total jumlah petani di Cirata yang mencapai 20.000 orang.jika hanya anggota Aspindac yang aktif dalam  persoalan kualitas air ini, tentu akan sia-sia.
Untuk mengurangi polutan, BPWC melakukan restocking ikan pemakan plankton, seperti bandeng, tawes, danmola. Sejak2010, bibityang  ditebar mencapai 5 juta dari target 10 juta ekor. Selain itu, ada rencana menanam 10.000 pohon aren di lahan hijau sekitar waduk. Jadi, waktu jualah  yang akan menguji ikhtiar-ikhtiar itu.
DefisitAir  Mengancam Pertanian
Langit mendung di atas  Bendungan Jatiluhur, akhir Maret lalu, diharapkan segera menurunkan hujan. Sore itu, bau tak sedap menyeruak dari morning glory waduk seluas 8.300 hektare terse but. Morning glory adalah sebutan  untuk saluran pembuangan air waduk.  Bentuknya bak mangkuk raksasa, dengan  tinggi 100 meter dan diameter 120  meter.
Bendungan Jatiluhur
Sejauh mata memandang ke arah  morning glory, terlihat jelas air sangat  surut. Tinggi muka air hanya 95,29  meter, terpaut jauh di bawah angka  normal 107 meter. “Aneh, tahun lalu  pada saat yang sama malah hampir luber, kini kering banget,” kata seorang  satpam. Keganjilan itu juga dirasakan  jajaran elite Perum Jasa Tirta II dan birokrat daerah hingga pusat.
Data Jasa Tirta II menunjukkan, jumlah air yang tersedia di bendungan itu hanya 2,98 milyar meter kubik.  Sedangkan kebutuhan air mencapai  3,63 milyar meter kubik. Jadi, defisit air  mencapai 0,65 milyar meter kubik.
Kondisi ini membuat lahan pertanian di sebagian pantai utara Jawa Barat terancam kekeringan. Angka pastinya belum ada. Perum Jasa Tirta II memperkirakan, sebanyak 240.000 hektare lahan berpotensi mengalami kekeringan di dua gadu (musim kering)  mendatang. Total lahan yang mendapat pasokan air dari Jatiluhur seluas 300.000  hektare.
Menurut Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Eddy Suriadiredja, kebutuhan air untuk irigasi mencapai 2,68 milyar meter kubik. Ketersediaan air untuk irigasi menjadi prioritas utama karena Bendungan Jatulihur dibangun  untuk keperluan irigasi. “Kalau listrik perlu dikurangi, ya, kami kurangi, yang penting irigasi terpenuhi,” kata Eddy.
Pasokan air untuk PLTA, menurut Eddy, tidak besar karena kapasitas pembangkit listriknya hanya 180 MW Paling kecil dibandingkan dengan Cirata dan Saguling. “Unit pembangkitan Cirata memiliki kapasitas maksirnal 1.008 MW, sedangkan Saguling 700  MW,” katanya.
Antisipasi Menghadapi  Kekeringan
Untuk menambah debit air, pihak Jasa Tirta II menempuh beberapa  langkah, antara lain teknik modifikasi cuaca. Ini dilakukan bersama PLN dan BPPT sejak 14 Februari hingga 16 Maret 2011. Hasilnya, ada kenaikan tinggi muka air, meski masih di bawah  ekspektasi.
Menurut Eddy, hal itu terjadi  karena air tertahan di Saguling dan  Cirata untuk keperluan operasional  pembangkit listrik pada saat beban  puneak. “Pada malam hari mereka bisa  tahan. Nah, untuk irigasi mau tahan gimana, orang di bawah sudah teriak- teriak,” tutur Eddy.
Untuk mengantisipasi kekeringan  akibat defisit air itu, Dinas Pertanian Jawa Barat pun menyusun strategi untuk lima wilayah sentra beras, yakni Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi. “Ini dilakukan  untuk menjaga target pertumbuhan  produksi 7% pada tahun ini,” kata Kepala Dinas Pertanian Jawa Barat,  Endang Suhendar.
Menurut Endang, rencana itu meliputi pemetaan daerah rawan kekeringan di tiap-tiap wilayah. Untuk  daerah yang aman dari kekeringan akan diterapkan pola penghematan air. “Sedangkan daerah yang rawan kekeringan akan dirninta mengubah pola tanarnnya, antara lain dengan palawija,” katanya.
Dinas Pertanian di setiap wilayah juga akan mempercepat masa tanam dengan tanam benih langsung atau  tabela. Dengan tabela, benih bisa  tumbuh dalam 15 hari. Sedangkan cara konvensional membutuhkan waktu 30 hari. Selain itu, benih SRI (system of rice  intensification) akan digunakan karena varietas ini tidak membutuhkan banyak  air.
Data Dinas Pertanian menunjukkan, hingga Februari 2011, pencapaian target luas tanam dan panen cukup menjanjikan. Dari target luas tanam padi sawah l.062.3 51 hektare,  yang terealisasi mencapai 942.792 hektare atau 88% dari target. Meski dibayangi ancaman kekeringan, Endang  optirnistis bahwa produksi beras tidak  akan terganggu.
Perihal produktivitas, Endang  mengakui, pada tahun lalu kenaikannya tidak sebesar periode 2008-2009. Pada  periode kemarin hanya tumbuh 3,66%.  Untuk tahun ini, target peningkatan  produksi hingga 12,5 juta ton cukup  realistis. “Tapi ini berat karena sangat  tergantung air, benih unggul, dan  pupuk,” ungkapnya.
Kawasan Hulu Citarum Kritis
Sejuk khas udara pegunungan menyelimuti Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Pantulan air di Situ Cisanti pada ketinggian l.700 meter  di atas permukaan laut membentuk bayangan gunung yang ada di sekelilingnya.
Dari Situ Cisanti-lah Sungai Citarum mengalir jauh hingga ke Tanjung Pakis dan Muara Gombong, 269 kilometer dari Gunung Wayang. Kawasan hulu inilah yang dituding  menjadi biang permasalahan Citarum  yang kompleks.
Pakar hidrologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Chay Asdak, menyatakan bahwa lahan kritis di daerah hulu itu menyebabkan daerah tangkapan air rusak berat. Ia menilai, beberapa  program rehabilitasi yang selama ini  dilakukan tidak efektif.
Menurut Chay, pohon hanya akan memberikan efek positif secara hidrologis jika membentuk asosiasi  tegakan. “Kalau renggang, ya, nggak ada efeknya buat pencegaran air,” ujarnya.
Perkara lahan kritis itu tak lepas dari alih fungsi lahan di kawasan hulu Citarum, yakni di Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Daerah ini sebetulnya kawasan  konservasi yang, menurut Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang  Kehutanan, harus diisi dengan tanaman keras. Namun, faktanya, lahan yang ada malah dipakai untuk perkebunan sayuran.
Chay mengusulkan, persoalan lahan kritis itu didekati lewat integrasi ekonomi. Ia mencontohkan, hutan  rakyat di daerah Purwokerto, Jawa Tengah, bisa lestari karena ada faktor pengikat, sehingga warga tertarik untuk menghijaukan lahannya. Pemerintah,  lanjut Chay, seharusnya mendorong penciptaan pasar agar muncul faktor integrasi ekonomi tadi. “Ini saya lihat belum ada di Jawa Barat,” katanya.
Dilema Nilai Ekonomi  Kentang
Sebetulnya program yang  mengarah pada pemberdayaan ekonomi masyarakat bukannya tidak ada. Sejak 2005, Perhutani menggulirkan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini melibatkan 9 lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dengan luas area 2.600  hektare.
Amas Wijaya, Kepala Seksi Humas Perhutani Unit III Jawa Barat, mengatakan bahwa program itu belum optimal karena terbentur beberapa kendala. Pengolahan kopi adalah salah satunya. Selama ini, kopi dijual dalam bentuk biji. Harganya hanya Rp 1.500 per kg. “Kalau sudah jadi bubuk, bisa Rp 50.000,” ungkapnya. Produksinya pun tidak maksimal karena ditanam di zona naungan pohon pinus. Satu hektare lahan hanya bisa ditanami 300-400  pohon kopi, dengan hasil panen sekitar 6  ton per tahun.
Selain itu, Perhutani juga mencoba menawarkan Program Rehabilitasi Usaha Pengembangan Hutan Rakyat  (RUPHR). Dengan program ini,  masyarakat pemilik lahan ditawari menanam pohon seperti albasia. Pohon  ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.  Harga per meter kubiknya mencapai Rp 400.000. “Tapi memang perlu waktu tujuh tahun, baru hasilnya bisa dituai,” kata Amas.
Alhasil, warga enggan beralih ke tanaman apa pun karena sayuran, terutama kentang, memiliki nilai ekonomi tinggi dan waktu panennya  relatif singkat. “Belum ada penelitian  empiris yang membuktikan ada tanaman lain yang bisa menggantikan nilai ekonomi kentang,” ujar Kepala Dinas  Kehutanan Jawa Barat, Budi Susatyo.
Lahan kentang, lanjut Budi, merupakan persoalan pelik karena juga melibatkan faktor kultur. Ini sulit diatasi karena lahan yang mereka garap adalah hak milik perorangan dan digarap secara turun-temurun sejak 35 tahun lalu. “Tak  ayal, gerakan rehabilitasi lahan jalan di  tempat,” kata Budi.
Berebut Lahan Ekonomi Citarum Hulu
Luas DAS Citarum hulu sekitar 230.802 hektare. Terdiri dari kawasan hutan seluas 60.835 hektare dan luar kawasan hutan seluas 166.611 hektare. Budi mengungkapkan, 10% dari luas DAS Citarum hulu berada dalam  kondisi kritis. “Ini angka minimal karena  kami tidak berani bilang bahwa tanah perkebunan itu kritis,” katanya.
Komposisi penguasaan lahan di daerah hulu memang beragam. Di sini, para tuan tanahnya adalah Perhutani, Balai Besar Konservasi SDA, PT Perkebunan Nusantara XIII, dan perkebunan swasta seperti PT London  Sumatra. Di satu kecamatan, yakni  Kertasari, luas lahan yang dikelola  masyarakat sangat kecil, yakni kurang  dari 1.000 hektare, yang merupakan  tanah ulayat atau tanah adat.
Luas lahan yang hanya 1.000 hektare ini diperebutkan 65.000 jiwa penduduk di kecamatan itu. Adapun  lahan seluas 13.000 hektare dikuasai dan dikelola beberapa perusahaan  negara, seperti Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara VIII, yang terdiri  dari Perkebunan Teh Talun Santosa, Kertamanah, Purbasai dan Sedep, serta Perkebunan Kina Bukit Tunggul. Sedangkan 600 hektare dikuasai perkebunan teh swasta, PT London  Sumatra Kertasari Estate.
Penataan ruang yang tidak jelas juga memperburuk kondisi Citarum. Data Badan Pengelola Lingkungan  Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat mencatat, daerah yang dulu berfungsi sebagai resapan kini sarat dengan bangunan permanen. BPLHD mencatat, alih fungsi lahan dari tahun 1983 sampai 2002 naik 233 % untuk daerah permukiman, industri naik 868%, sedangkan lahan pertanian turun 55%.
Kondisi Citarum diperparah pula oleh erosi dan sedimentasi yang muncul akibat lahan kritis. Tingkat erosi lahan di DAS Citarum hulu tergolong tinggi. Data Dinas Kehutanan Jawa  Barat menunjukkan, dari luas lahan 230.802 hektare, terjadi erosi sebesar  112.346.477 ton per tahun atau 487 ton  per hektare.
Erosi ini menimbulkan  sedimentasi yang luar biasa. Basil sedimentasi yang sampai di badan air  Waduk Saguling mencapai 8.467.926  ton. Secara akumulasi, dari tahun 1987  hingga 2007 saja, total sedimen itu mencapai 84.644.878 meter kubik. Laju  erosi melesat 30.708 meter kubik per tahun dari angka perkiraan atau hingga 2010 kelebihan 644.878 meter kubik.
Meragukan Kemampuan Pohon Keras
Dengan kondisi seperti itu, kawasan hulu mutlak harus dihijaukan. Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS),  Mubyar Purwasasmita, menyatakan  bahwa hutan merupakan bendungan alam. Pohon bisa menyerap air hujan dan menyimpannya lewat mekanisme  selaput air yang terdapat dalam akar  pohon.
Selaput air itu memiliki kekuatan  74,6 joule per meter persegi, yang  disebut tegangan permukaan. Jika ada 1 meter kubik saja yang ditanarni pohon keras, terdapat energi 3,7 juta kilojoule  untuk menahan air. “Ini lebih kuat dari  beton, lebih kuat dari bendungan,” ujar pria jebolan Universitas Nancy, Prancis, itu.
Citarum, dengan segala masalah yang ada, menurut Mubyar, harus ditangani secara terpadu. Selama ini, penanganan masalah Citarum dilakukan secara parsial menurut  wilayah kewenangan. Ia mencontohkan, Kementerian Pekerjaan Umum hanya terfokus di bidang sungai, sedangkan kawasan hulu dipegang Kementerian Kehutanan.
Pejabat Pembuat Kornitmen Pendayagunaan Tata Guna Air (PKK PTG) Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC), Asep Kuryana, sependapat. Sarjana teknik yang  acapkali menjadi juru bicara BBWS ini mengungkapkan, meski program Integrated Citarum Water Resource Management Program (ICWRMP) telah bergulir, tetap saja sinergi belum  terwujud karena ego masing-masing  instansi yang berkepentingan.
Asep menerangkan, BBWSC sebagai Unit Koordinasi dan Manajemen Program ICWRMP tetap konsisten menjalankan tahapan program  yang ada. Terkait program-program ICWMRP atau galib disebut Peta jalan Citarum, pemberdayaan masyarakat  adalah kuncinya. “Untuk itu, BBWSC berusaha memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait permasalahan yang ada di Citarum,” katanya.
Sungai Citarum mengalir sejauh 269 kilometer, berkelok-kelok  dengan topografi yang terjal hingga  datar. Kontur Citarum yang demikian barangkali mirip problematika yang  dihadapinya: panjang, berliku, serta  penuh tanjakan dan turunan nan terjal.
Perlu kerja keras untuk menahan  laju kerusakan itu, di samping memperbesar upaya pemulihan, sehingga label “The World Dirtiest  River” (International Herald Tribune, 5 Desember 2008) dan “The Dirtiest  River” (The Sun, 4 Desember 2009) perlahan tapi pasti sirna.
Nama Media : MAJALAH GATRA Edisi 12-18 Mei 2011
Tanggal        : Edisi 12-18 Mei 2011, Hal. 47-57
Penulis         : G.A. Guritno
TONE           : NETRAL