Kawasan hutan mampu menopang ketahanan pangan nasional dengan produksi sampai 9,4 juta ton per tahun. Kontribusi itu dihasilkan dari kegiatan tumpang sari tanaman pangan di kawasan hutan seluas 16 juta hektare selama 1998-2010. Bila seluruh potensi dimaksimalkan, area konsesi hutan saja bisa menyumbang bahan pangan lebih dari 35 juta ton, belum termasuk kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi yang bisa dimanfaatkan hasil hutan bukan kayunya.
”Kami sudah menyediakan lahan 200 ribu hektare di Kalimatan Tengah (Kalteng), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Barat (Kalbar). Kementerian Pertanian (Kementan) tinggal menentukan lokasi mana yang paling cocok untuk pengembangan produk pertanian karena mereka yang lebih mengetahui,” kata Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan saat panen perdana padi di Desa Wanawali, Kabupaten Purwakarta, Minggu (25/3).
Selama ini, kawasan hutan mampu menghasilkan produk pangan, seperti umbi-umbian, umbat rotan, buah, madu, sagu, jamur, kacang-kacangan, jagung dan beras. Dengan potensi yang besar tersebut, Kemenhut menempatkan masalah pangan sebagai program strategis, selain kawasan hutan sebagai sumber energi dan air.
Namun, data statistik memang tidak menyebutkan kontribusi sektof kehutanan terhadap produk pangan karena produksi dari kawasan hutan laporannya masuk ke Kementan. Sementara, laporan produksi kayu dan kayu olahan menjadi bagian dari data Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Selain protein nabati, kawasan hutan juga terbuka untuk pengembangan petemakan (silvopastura) dan perikanan (silvifisheri).
”Yang utama, kawasan hutan tidak berubah dengan beragam tanaman mulai dari kayu jati, sengon, jabon sampai meranti untuk produksi jangka panjang. Pengembangan domba etawa, sapi dan kambing diharapkan membantu rakyat untuk jangka menengah maupun tanaman padi, jagung dan kacang kedelai untuk penghasilan jangka pendek,” kata Zulkifli.
Padi Gogo Inpago
Panen perdana padi gogo varietas Inpago di Desa Wanawali ini, merupakan bentuk kemitraan dalam mengelola hutan yang dilakukan BUMN kehutanan, Perum Perhutani. “Pola kemitraan dengan tumpang sari di Jawa memang lebih maju dari daerah lain. Apalagi, sistem ini tidak rusak fungsi hutan, namun justru menambah penghasilan petani dan mendukung penguatan DAS.”
Menurut Zulkifli pangan menjadi prioritas nomor satu. Karena itu, moratorium hutan primer dan gambut juga tidak berlaku untuk kawasan yang diperuntukkan bagi ketahanan pangan. Apalagi, pemerintah juga fokus bisa surplus 10 juta ton pada 2014. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan APBN sampai Rp30 triliun hanya untuk perkuat pangan.
Zulkifli bersama Menko Perekonomian, Hatta Rajasa melakukan panen perdana padi gogo Inpago dalam rangka Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasa Korporasi (GP3K). Panen padi gogo jenis parientis itu dilakukan di Petak 99 C seluas 17,60 hektare di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta.
“Produktivitas padi gogo melalui tumpang sari ini mencapai 3,5 ton dari normalnya 2,5 ton per hektare,” kata Direktur Utama (Dirut) Perhutani, Bambang Sukmananto. Bambang mengatakan Perhutani mengelola 150 ribu hektare per tahun dan realisasi tanam untuk mendukung program GP3K tahun ini sudah mencapai 45 persen. Dari luasan itu, kawasan hutan untuk tumpang sari padi 55 ribu hektare, jagung 80 ribu hektare dan kacang kedelai 15 ribu hektare.
Aria Triyudha
ariat@jurnas.com
Jurnal Nasional :: 26 Maret 2012, HAL 15