Sejumlah ahli sorgum berkumpul di Kementerian Riset dan Teknologi. Saya dan Menristek Dr Gusti M Hatta ikut hadir. Mereka bukan saja yang ahli dalam hal keilmuan seperti Prof  Dr Sungkono dari Universitas Lampung (dan IPB), tapi juga para praktisi yang sudah mempraktikkan menanam sorgum di berbagai wilayah.

Kita memang punya problem yang kelihatannya sulit dipecahkan seumur hidup kita:  kita ini akan terus impor gandum besar-besaran setiap tahun. Sejak lebih 40 tahun lalu dan sampai entah berapa ratus tahun lagi.

Kebiasaan kita makan mie dan roti tidak akan bisa dibendung lagi. Berarti pemakaian gandum akan terus meningkat. Padahal kita tidak bisa menanam gandum di Indonesia. Tanah kita dan iklim kita tidak cocok untuk tanaman gandum.
Kecuali ahli-ahli pertanian kita menemukan cara baru kelak. Yakni cara memanfaatkan lahan yang tidak subur untuk gandum. Kita tidak mungkin menggunakan sawah-sawah subur kita karena akan mengancam tanaman padi.

Itulah sebabnya, setelah belajar dari apa yang dilakukan BUMN PT Hijau Lestari di Jabar, saya terpikir untuk mengembangkan sorgum. Tanaman ini tidak asing bagi saya. Waktu kecil saya pernah menanam sorgum di desa saya. Waktu itu disebut jagung cantel. Bisa untuk nasi, bubur, camilan ataupun tepung. Bisa juga untuk marning (popcorn dalam bentuk yang lebih kecil).

Menristek, Pak Gusti M Hatta menginformasikan di lingkungannya banyak ahli yang bisa digali ilmunya. Tidak hanya tentang menanam sorgum, tapi juga industri hilirnya. Termasuk yang dari IPB, Unpad, dan Unila. Mereka itulah yang berkumpul pekan lalu. Pertemuan pun berlangsung dengan dinamisnya.

Bahkan mata Prof Sungkono sampai berlinang-linang. Saking terharu dan semangatnya. “Saya ini ahli sorgum yang baru sekarang didengar pendapat saya. Inilah mimpi saya. Sorgum diperhatikan,” ujarnya.

Putusan pun dibuat hari itu. BUMN akan mencari 15.000 ha tanah tidak subur untuk ditanami sorgum secara besar-besaran. Selama ini di Jabar BUMN memang sudah membina petani untuk menanam sorgum, tapi kecil-kecilan. Ini karena lahannya milik petani yang luasannya memang terbatas.

Tapi banyak petani lahan kering yang jatuh cinta. Sampai-sampai ada seorang petani yang aslinya bernama Supardi yang tinggal di Soreang, Kabupaten Bandung, mendapat panggilan baru: Abah Sorgum. Itu karena dia sangat gigih meyakinkan petani lain untuk menanam sorgum. Juga karena Abah Sorgum terus menciptakan makanan berbasis tepung sorgum.

Pengalaman Jabar itulah yang memberikan keyakinan untuk pengembangan besar-besaran. Lahan-lahannya siap didapat: Jatim (Banyuwangi Timur Laut yang kurang subur), Sulsel, Sultra, dan Sumba. Di lokasi-lokasi tersebut BUMN memang memiliki tanah tandus yang sangat luas yang kurang produktif. Akhir tahun ini lahan-lahan tersebut sudah harus berubah menjadi kawasan sorgum.

Tentu dalam waktu yang dekat  diperlukan benih sorgum dalam jumlah besar. Sampai 50 ton. Tapi tidak akan sulit. Bisa disiapkan lahan 100 ha yang akan ditanami sorgum khusus untuk benih.

Kelebihan sorgum ini, saat untaian buahnya siap dipanen, batang dan daunnya masih hijau. Ini sangat seksi untuk makanan ternak. Tiap hektar bisa menghasilkan batang/daun sampai 50 ton. Karena itu tanam sorgum dalam skala besar akan dikaitkan dengan program peternakan sapi skala besar pula. Baik yang di Sumba, Sulsel, Sultra, maupun Jatim.

Memang tepung sorgum memiliki kelemahan: tepungnya tidak bisa mengembang. Tidak seperti terigu. Karena itu tepung sorgum tidak bisa untuk membuat roti. Harus dicampur gandum. Kalau dicampur gandum rotinya justru akan lebih baik. Dengan demikian impor gandum bisa berkurang 30 persen. Satu jumlah yang sangat besar.

Tapi sorgum memiliki kelebihan yang luar biasa. Di samping harganya lebih murah, tepung sorgum tidak mengandung unsur gluten, zat yang bisa membuat anak menjadi autis. Karena itu untuk makanan seperti kue dan biskuit yang tidak memerlukan proses mengembang, sorgum adalah jawabnya.

Walhasil sorgum akan menjadi unggulan BUMN di samping program pangan lainnya seperti Proberas, Yarnen, pencetakan sawah baru, pengadaan beras Bulog, peningkatan produksi gula, garam, pabrik sagu, dan ternak sapi.  Semuanya berat tapi bukan tidak mungkin terwujud.

Oleh Dahlan Iskan
Menteri Negara BUMN
Manufacturing Hope 35, 16 Juli 2012