Pertanyaan :
Pak Gubernur, bagaimana upaya pemerintah provinsi dalam pengelolaan hutan di Jawa Tengah? (Hadi, Wonogiri)

Jawab :
Terima kasih Saudara Hadi. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, bersama Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, terus menjalin sinergitas dalam mengembangkan dan mendorong pengelolaan hutan. Salah satunya, melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), di mana masyarakat dilibatkan langsung untuk mengelola hutan, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Dengan ”Hutanku Lestari Rakyatku Mukti”, dilakukan kegiatan berkelanjutan wajib tanam ”Sak Wong Sak Wit”, dengan berbagai jenis tanaman lindung dan tanaman produktif.

Di provinsi ini, kawasan yang berfungsi hutan mencapai 1.390.056 hektare atau sekitar 42,77% dibandingkan luas daratan 3.254.900 hektare. Kawasan tersebut terdiri atas 19,91 % (647.133 hektare) hutan negara, dan 22,86 % (742.923 hektare) hutan rakyat. Kondisi ini telah memenuhi amanat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di mana suatu wilayah provinsi disyaratkan minimal 30 persen wilayahnya berfungsi sebagai hutan.

Pengelolaan sumber daya hutan ini meliputi tiga aspek, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Aspek ekologi, hutan mempunyai fungsi sebagai pengatur tata air, pengendali erosi, tanah longsor, dan mencegah banjir. Aspek ekonomi, hasil hutan kayu maupun non kayu mempunyai nilai ekonomi dalam rangka menggerakkan roda perekonomian nasional. Aspek sosial, keberadaan hutan sangat bermanfaat bagi penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar hutan, mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Ketiga aspek ini saling terkait dalam rangka mewujudkan ”Hutanku Lestari Rakyatku Mukti”.

Pengalaman pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan secara eksklusif tanpa melibatkan semua stakeholder, terbukti telah menyebabkan kesenjangan dalam distribusi manfaat sumber daya hutan. Masyarakat sekitar hutan sebagai pihak yang berkepentingan langsung terhadap sumber daya hutan, terpinggirkan secara struktural maupun fungsional dalam pengelolaan sumber daya hutan serta pemanfaatannya.

Kondisi ini menjadikan masyarakat bersikap anarkis terhadap potensi sumber daya hutan yang ada. Akibatnya, potensi dan kondisi sumber daya hutan mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan akibat dijarah dan dirusak. Karena itulah dikembangkan PHBM, agar masyarakat berperan aktif mengelola hutan di wilayah hutan pangkuan desa. Selain itu, masyarakat memiliki rasa handarbeni, hamemetri, dan hangrungkebi terhadap hutan.

Hutan diberdayakan lagi untuk kesejahteraan rakyat, supaya rakyat tidak merusak hutan. Di bawah tegakan-tegakan hutan ditanami tanaman produktif, empon-empon, seperti kapulaga, jahe, kencur, kunyit, temulawak atau tanaman apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai cadangan pangan masyarakat. Tanaman tumpang sari, seperti padi dan jagung, silakan diambil. Namun kayu jati jangan. Dengan cara ini, diharapkan kebutuhan pangan rakyat tercukupi dan terlindungi oleh hutan yang ijo royo-royo, dengan kandungan air yang banyak.

Hasilnya? Selama 10 tahun pekembangan PHBM, di Jawa Tengah terdapat 1.929 Desa Pangkuan Hutan/Desa Sekitar Hutan dan LMDH sebanyak 1.923. Pembagian hasil produksi kayu dan non kayu yang diterima masyarakat sekitar hutan hingga 2009 sebesar Rp 71,9 miliar dan 2010 Rp 16 miliar. Sumbangan pangan dari hutan seperti padi, jagung, kedelai, ketela pohon, dan sebagainya sampai 2010 sebesar Rp 1,98 triliun, dan pada 2011 sebesar 355.033 ton senilai Rp 215,4 miliar.

Penyerapan tenaga kerja sampai Desember 2011 sejumlah 1,6 juta orang dengan tambahan penghasilan senilai Rp 405,7 miliar. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga memperoleh Penghargaan Wana Lestari sebagai juara umum penghijauan dan konservasi alam selama lima kali berturut-turut sejak 2007. (43)

SUARA MERDEKA :: 31 Maret 2012 Hal. 31