Pemerintah harus menjual bahan bakar nabati biodiesel lebih ekonomis untuk bisa mengalihkan penggunaan solar. Harga bahan bakar nabati itu tentunya harus lebih rendah dibandingkan solar. Sebab, pendapatan masyarakat umumnya terbatas sehingga mereka akan melirik biodiesel apabila harganya murah dan bahan bakarnya berkualitas. Sejauh ini, harga resmi solar bersubsidi di pasaran mencapai Rp 4.500/ liter.

”Jika masyarakat disodori pilihan penggunaan bahan bakar dengan harga lebih murah, ini bisa menjadi alternatif bagi mereka. Sebaliknya, bila harga biodiesel tak lebih ekonomis dari solar maka pengalihan bahan bakar tidak bisa berjalan sesuai harapan,” kata anggota Komisi D DPRD Jateng Wahyudin Noor Aly, Rabu (7/3).

Diberitakan kemarin, Gubernur Bibit Waluyo menerima rombongan road test kendaraan mobil berbahan bakar biodiesel nyamplung yang dipimpin Bupati Purworejo Mahsun Zain di kantor gubernuran, Selasa (6/3). Rombongan menggunakan kendaraan bermesin diesel itu melaksanakan perjalanan lintas Jateng-Yogyakarta. Menurut Wahyudin, dengan keterbatasan solar, pemerintah nantinya bisa memberi alternatif lain lewat penggunaan biodiesel. Meskipun demikian, ketersediaan bahan baku berupa pohon nyamplung juga harus melimpah untuk menjaga ketersediaan biodiesel.

Produksi massal untuk satu kilogram nyamplung basah kini harga jualnya Rp 750/ kilogram. Bahan baku itu selanjutnya diolah menjadi bahan bakar nabati. Bila diproduksi massal, anggota Fraksi PAN itu meyakini harga biodiesel tentunya bisa lebih murah lagi.

Sebelumnya, Bibit Waluyo mengimbau kabupaten/kota di Jateng yang berpotensi membudidayakan pohon nyamplung untuk turut serta memberdayakan bahan baku biodiesel tersebut. Tanaman itu kini berkembang di sejumlah daerah, seperti Purworejo dan Karimunjawa.

Perlu diketahui, biodiesel ini merupakan program pemerintah Indonesia dalam menyikapi kelangkaan energi di masa mendatang melalui program Desa Mandiri Energi (DME). Desa ini berdasarkan rencana strategis (renstra) 2009-2014 program DME masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60 persen kebutuhan energinya (listrik dan bahan bakar).

Bahan bakar itu dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat. Dalam renstra terdapat delapan potensi program, salah satunya bahan bakar nabati (BBN) nyamplung sebagai bahan baku biodiesel. Salah satu unit pabrik pengolah BBN terdapat di Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo.

Bupati Purworejo Mahsun Zain menyatakan, pabrik ini merupakan salah satu unit pengolah biodiesel yang mengalami kondisi stagnan sejak berdiri tahun 2009. Menurutnya, kondisi tersebut membuat beberapa stake holders, seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Serayu-Opak-Progo, Perhutani KPH Kedu Selatan, dan CV Cahaya Khatulistiwa Yogyakarta sejak akhir 2011 berinisiatif merevitalisasi kembali mesin produksi pengolah buah nyamplung. Pabrik biodiesel di Desa Patutrejo sebelumnya rata-rata mampu memproduksi bahan bakar tersebut dengan kapasitas 2.600 liter per bulan.

Jika perbaikan mesin produksi dilakukan, maka unit pengolahan minimal dapat memproduksi 6.000 liter per bulan. Dia menjelaskan, satu liter biodiesel membutuhkan rata-rata empat kilogram buah nyamplung kering. Adapun, kebutuhan bahan baku 6.000 liter/bulan adalah 24 ton buah nyamplung kering per bulan. “Angka ini masih sangat kecil dibandingkan potensi buah tersebut di Purworejo,” jelasnya. (J17-77)

Suara Merdeka :: 8 Maret 2012, Hal. 10