Tahun 2003 merupakan tonggak perubahan bagi Desa Klangon, saat PHBM resmi diberlakukan di desa itu. Petani pengelola di sekitar hutan (pesanggem) diperbo­lehkan menanam tanaman sela seperti Porang, jagung, kunir, jahe, temulawak, joho, atau kedawung di bawah tegakan pohon jati milik Perhutani.
“Saat ini anggota kami berjumlah 700 pesanggem yang berasal dari empat dusun,” ujar Hartoyo, salah seorang pesanggem di sana.
Kebanyakan pesanggem mengelola Porang (Amorpho­pallus Onchopillus) atau dikenal dengan nama iles-iles atau suweg yang dikembangkan sejak tahun 1986. Porang ha­rus ditanam di bawah naungan dan membutuhkan cu­kup air. Satu hektar dibutuhkan 300 kg biji atau 400 kg bubil/katak (alat perkembangbiakan yang berada pada setiap pertemuan batang) atau 1,5 ton umbi Porang. Bu­didaya Porang di Desa Klangon mencapai 650 ha dengan produksi 4.000 ton umbi segar/tahun.
Porang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan dasar tepung untuk membuat tahu, mie, jelly, bahan kosmetik, perekat tablet, pembungkus kapsul, atau penguat kertas. Porang sebagai bahan makanan karena mengandung bebe­rapa zat kimia diantaranya protein, pati, dan glukomannan.
Panen pertama dari biji atau bubil dilakukan pada bulan April-Juni saat Porang berumur tiga tahun, namun untuk panen kedua bisa dilakukan tiap tahun pada bulan yang sama. Porang dipanen saat umbi sudah berukuran besar dengan berat lebih dari satu kg. Umbi Porang yang berbob­ot kurang dari satu kilogram akan ditanam kembali untuk dipanen di tahun berikutnya. Pesanggem akan member­sihkan dahulu umbi Porang dari sisa akar dan tanah sebe­lum dijual. Porang dijual ke koperasi atau pengepul dalam bentuk umbi segar dengan harga mencapai Rp3 ribu/kg.
Porang Desa Klangon juga dijual ke beberapa pabrik pembuatan tepung asal Surabaya yang nantinya diekspor ke Jepang dan China. Ekspor ke Jepang dalam bentuk Konyaku (tahu) dan Shirataki (mie). Sebelum dikirim ke pabrik, Porang harus diiris dengan ketebalan 0,5-1 cm disebut dengan chip Porang. Chip dijemur selama 5 hari hingga coklat keabu-abuan.
“Pabrik membeli harga tinggi untuk chip kering, bersih, tidak berjamur, kadar air 15 persen. Harga chip dengan syarat tersebut bisa mencapai Rp19 ribu/kg,” ujar Hartoyo.
Desa Klangon juga memiliki oven pengering chip bersuhu 800C kapasitas 700 kg chip basah yang digunakan ketika musim hujan tiba.
Perekonomian Desa Klangon semakin membaik. Hingga pertengahan tahun 2010, Desa Klangon meneguk pen­dapatan sekitar Rp12 Miliar. Desa Klangon kini berubah menjadi desa berkembang dengan dilengkapi listrik, ja­lan beraspal, dan alat komunikasi memadai. Pendapatan pesanggem meningkat hingga tiga kali lipat dari sebe­lumnya saat mereka mengelola jagung. Tak hanya materi lebih dapat diraih, beberapa pesanggem sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. (Humas PHT)