KOMPAS Online, Bandung – Kera merupakan salah satu daya tarik pariwisata di lokasi wisata air terjun Curug Cimahi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Sejak dibuka untuk umum oleh Perhutani pada tahun 1992, di lokasi tersebut hidup ratusan kera jenis Makaka atau kera ekor panjang.
Pada tahun 2002 silam, wahana wisata Curug Cimahi sempat ditutup hingga tahun 2010 karena mengalami perbaikan fasilitas pascalongsor yang terjadi di tempat tersebut. Namun, para kera tetap setia tinggal di hutan Curug Cimahi.
Pengelola Curug Cimahi dan Kepala Resor Pemangku Hutan (KRPH) Cisarua, Eem Sulaeman mengatakan, pada saat Curug Cimahi kembali dibuka untuk umum di tahun 2010 lalu, tercatat sebanyak 180 ekor kera ekor panjang tinggal di hutan sekitar lokasi itu. Namun, ketika diperiksa kembali beberapa bulan ke belakang, jumlah populasi kera ekor panjang semakin bertambah.
“Tahun lalu kita hitung ada sekitar 220 ekor kera, tapi sekarang jumlahnya ada 235 kera,” kata Eem di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (28/11/2013).
Lebih lanjut Eem menambahkan, bertambahnya jumlah kera tersebut membuat jumlah kelompok kera ikut bertambah. Pada saat jumlah kera masih 220 ekor, kata Eem, mereka terbagi ke dalam dua kelompok. “Ada kelompok kecil baru, jumlahnya sekitar 35 ekor. Mereka adalah kera-kera yang tersisih dari dua kelompok besar,” jelas Eem.
Eem menjelaskan, dua kelompok besar kera sebelumnya diberi nama kelompok Cadok dan kelompok Utung. “Nah, yang baru ini belum ada nama,” katanya.
Kehadiran kera di Curug Cimahi memang memberikan dampak positif untuk wisata Curug Cimahi. Pasalnya, kera-kera tersebut terbilang jinak dan tidak pernah mengambil barang-barang milik pengunjung seperti di tempat lain. Di sisi lain, kehadiran kera-kera di Curug Cimahi juga memberikan berkah untuk para petani sayur di sekitar lokasi wisata.
Eem menceritakan, pada saat Wisata Curug Cimahi ditutup untuk umum pada saat perbaikan, gerombolan kera menyerbu dan merusak perkebunan milik warga. “Kalau di sini pengunjung dan petugas rutin memberi makan. Jadi tidak akan mengganggu ke petani. Mereka (petani, red) malah sangat bersyukur. Sebelum dibuka, (kera) memang merusak ke kebun pertanian,” pungkasnya.
Jurnalis : Farid Assifa
Kompas Online | 29 November 2013 | 09.48 WIB