RADARTEGAL.COM (15/11/2016) | Bagi yang menyukai wisata alam sekaligus wisata sejarah, sebuah gua di Desa Pusaka Mulya Kecamatan Kiarapedes Kabupaten Purwakarta bisa menjadi pilihan. Selain menyuguhkan suasana alam yang asri, gua ini memiliki sejarah yang menarik.Terceritakan, terdapat puluhan mungkin ratusan serdadu Negeri Matahari (Jepang, red) mendiami gua ini beberapa waktu silam. Tercatat jelas, para prajurit yang terkenal dengan Misi Hara Kiri (bunur diri) ini meninggalkan gua tanah tersebut pada tahun 1945 lalu, tak lama setelah pasukan Amerika dan sekutunya menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hirosima.
Memiliki luas kurang lebih 200 meter persegi, berisikan satu aula pertemuan, sembilan kamar di dalamnya dengan kapasitas 50 orang tertampung dalam kamar tersebut. Gua bersejarah ini kini menjadi lokasi wisata yang menakjubkan.
Jajaran pohon pinus nan rindang, dengan dua curug (air terjun) bernama Curug Cimanaresa dan Curug Pamoyanan, ratusan wisatawan lokal pun mendatangi lokasi wisata ini. Biasanya mencapai puncak keramaian pada akhir pekan.
Hanya dengan merogoh kantong senilai Rp5 ribu untuk tiket masuk ke lokasi, wisatwan akan disuguhkan pemandangan menakjubkan.
“Kebanyakan wisawatan kesini untuk menikmati keindahan alam, sejuknya mata air curug dan yang paling populer adalah wisata sejarah gua peninggalan Jepang,” tutur Asep (39), salah seorang guide (pemandu wisata) di lokasi.
Selain menyimpan banyak cerita sejarah tentang bagaimana keseharian sang serdadu Jepang menduduki negeri ini dengan sistem kerja paksa yang terkenal seantero dunia bernama romusha, wisata alam Pusaka Mulya juga menyimpan cerita bagaimana ‘urang leuweung’ atau harimau jawa, warga sekitar menyebut, menguasai lereng pinus wisata Pusaka Mulya yang berada dibawah kaki Gunung Burangrang ini.
“Dulu puluhan hingga ratusan ekor ‘urang leuweung’ menguasai hutan ini, namun sejak lokasi ini ‘loba jelema’ (banyak manusia) mendatangi areal ini, mereka (harimau) itu seakan lenyap, meski kami yakin mereka masih ada di sekitar kami,” ungkap Asep.
Merinding bercampur takut menjadi hal wajar bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi ini. Namun menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang memiliki andrenalin kuat untuk bisa menyusuri semua objek yang ada.
Bersama kang Asep, kami pun berhasil menyusuri beberapa langkah kedalam gua. Benar saja, terdapat rongga rongga mirip huruf ‘U’ di dalam gua sebagaimana diceritakan Bah Ahmad, salah satu pemilik warung kopi di lokasi.
“Dulu ayah saya ikut membangun gua ini, kalau tidak salah waktu serdadu Jepang menduduki negeri ini sebelum negara Jepang ‘ludes’ (hancur) kena bom Amerika,” cerita Bah Ahmad sembari menggoreskan sebatang kayu kering ketas tanah merah melukiskan bagaimana grafik desain gua yang berbentuk U atau memutar itu dibangun ayahnya 58-60 tahun lalu.
Berbeda dengan aura dalam gua ketika kita memasukinya, dimana pengunjung akan terbayang bagaimana dahulu para serdadu Jepang beraktifitas di dalam gua dengan mulut gua hanya berdiameter 2-3 meter dengan ketinggian 2,5-3 meter, namun luas di dalamnya.
Pengalaman seru wisatawan pohon pinus Pusaka Mulya akan kembali ditantang andrenalinnya ketika mengunjungi air terjun bernama? Curug Pamoyanan. Lokasi itu menceritakan, puluhan harimau menjemurkan dirinya diatas pohon kiara (pinus).
“Sekitar tahun 60-70-an, mereka (harimau) masih banyak mandi, kemudian berjemur di sekitar curug Pamoyanan. Itulah sebabnya curug tersebut disebut curug pamoyanan atau dalam bahasa Indonesia berjemur,” lanjut Bah Ahmad.
Berjarak 28 km dari pusat kota Purwakarta, wisata pinus Pusaka Mulya memang baru saja dibuka untuk umum dua tahun silam oleh pihak Perhutani Bandung bersama warga sekitar.
Bahkan, diceritakan Bah Ahmad, masih ada beberapa gua peninggalan Jepang yang belum dibuka sejak sengaja ditutup oleh pihak Perhutani dengan warga sekitar tahun 70-an dengan alasan keselamatan dan disalahgunakan orang tidak bertanggung jawab.
“Masih ada beberapa gua yang belum dibuka, itupun lokasinya masih dirahasiakan. Sebab, berada didalam hutan,” lanjut Bah Ahmad.
Bahkan, berdekatan dengan Curug Pamoyanan, warga dan pihak Perhutani mendapati sebuah gua yang konon menjadi sarang harimau. Sehingga tak disarankan bagi wisatwan mengunjungi curug tersebut seorang diri atau tanpa didampingi pemandu wisata sekitar.
“Entah itu gua Jepang atau sarang harimau, yang pasti banyak harimau keluar masuk ke dalam gua itu. Makanya sampai saat ini, gua itu kami isolasi dari wisatwan,” lanjutnya.
Bercerita tentang bagaimana harimau menguasai hutan pinus Pusaka Mulya, Abah Ahmad kemudian menyarankan Pasundan Ekspres menemui Bah Somad, ayah Bah Ahmad di kediamannya.
Meski telah jarang terlihat, sang raja hutan diceritakan Bah Ahmad masih kerap bersautan di malam hari pada tahun 2000 silam.
“Dulu kalau habis panen, kami beberapa pria dewasa terpaksa menunggu padi hasil panen di saung yang berada di tengah sawah,” ujar abah.
Bukan hanya khawatir akan keselamatan, Bah Ahmad bersama beberapa temannya terpaksa mengunci diri didalam saung takut takut sang harimau menerkam mereka, meski belum pernah terceritakan ada warga menjadi korban keganasan sang harimau.
“Mereka (harimau) itu tidak akan menganggu atau mengancam jika tidak manusia itu sendiri yang menggangu mereka,” tutur Abah.
Areal gunung Burangrang sendiri berdasarkan data yang berhasil dihimpun merupakan areal hutan lindung untuk Harimau Jawa oleh pemerintah yang dikelola oleh pihak Perhutani. Maka tak aneh ketika habibat mereka banyak ditemui warga di lokasi wisata pusaka mulya beberapa tahun silam.
Sayang, meski menjadi lokasi wisata ramai dikunjungi ratusan pengunjung setiap minggunya. Objek wisata yang kini masih menjadi objek wisata dibawah wewenang Perhutani ini kurang mendapat perhatian pemerintah sekitar mungkin karena lokasinya yang berbatasan antara Kabupaten Subang dan Purwakarta.
Tangan tangan jahil corat coret pohon dan batu juga buang sampah sembarangan menjadi pemandangan kurang menyedapkan dilokasi ini oleh ulah wisatwan tak bertanggung jawab.(maldiansyah/jpg)
Sumber : Radartegal.com
Tanggal : 15 November 2016