Kabut menebal di tengah dingin yang tak menggigit lagi. Itulah wajah desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, di pinggiran hutan Perhutani, Malang.
Suwandi adalah bagian dari cerita desa hutan Tlekung. Lelaki ini dibesarkan di antara rimbunnya hutan dan maraknya tanaman sayuran. Zaman berubah, manusia terus bertambah, desanya dan desa sebelah penuh hunian, penuh manusia. Manusia buth pangan, butuh sehat.
Dan hutan, tetap saja sebagai sumber pangan, sumber air dan sumber penghidupan bagi warga desa. Sebagai ayah tiga anak perempuan, sehari-hari Suwandi adalah pemilik angkutan umum pedesaan (angkudes). Waktu senggangnya sering digunakan kumpul-kumpul para petani desa hutan. Ini asal muasal Suwandi di percaya warga menjadi Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Asri besutan Perum Perhutani, Malang. Ia dianggap cakap dan bisa memajukan organisasi itu.
Nongkrong belum tentu jelek, demikian kata Suwandi. Hasil itulah yang menelorkan ide membuat cincau dengan memanfaatkan tanaman Janggelan. Cincau dikalangan Tionghoa di sebut hanzi atau pinyin : xiancao. Orang local menyebut camcao, berasal dari proses perendaman daun tanaman janggelan (Maisonapalustris BL) dalam air dan akan membentuk gel yang mengikat molekul air.
Mengapa Suwandi memilih cincau ? Selain bermanfaat bagi kesehatan, karena memiliki kandungan karbohidrat, mineral (kalsium dan fosfor), vitamin A, B1, C, kandungan kalori yang rendah, kandungan air yang banyak, kandungan mineral dan seratnya tinggi baik untuk dijadikan salah satu menu selingan saat diet. Dan yang penting, karena dia dan keluarganya suka makanan yang satu ini.
Meskipun pembuatan mudah, tetapi gagal berkali-kali adalah teman bagi Suwandi. Belajar dari pustaka dan mengejar ilmu sampai Ponorogo pernah dilakoni. Selain butuh sabar, usaha cincau juga merogoh kocek untuk modal sampai berpuluh juta.
Mengawali usaha, pinjaman PKBL Perhutani Malang Rp 17 juta dia peroleh atas nama LMDH Wono Asri. Selain untuk usaha organisasi, seizing anggota, Suwandi mendapat pinjaman Rp 5 juta untuk usaha cincau pribadi.
Tahun ini, merupakan kali kedua kelompoknya meminjam dana PKBL.
“Manfaat PKBL itu banyak, tidak bertele-tele pinjamnya,” kata Suwandi. Promosi cincau cincai dari mulut ke mulut, dari desa ke desa, dari desa ke kota. Benar saja, permintaannya pada bulan biasa 300 kaleng per minggu bisa melejit 2.450 kaleng pada bulan Ramadhan. Harga cincau Rp. 28.000 per kalengmengantar omzet Suwandi Rp 140 juta setahun pada awal usaha dan menjadi Rp 300 juta enam tahun terakhir.
Tidak itu saja, Suwandi cukup bahagia bisa membantu orang lain bekerja bersamanya. Rata-rata lima sampai 15 orang bekerja setiap hari di dapur cincaunya di Tlekung. Suwandi dan kelompoknya juga digandeng Universitas Brawijaya untuk Penelitian dan Pengembangan Usaha dan Diversifikasi Produk Minuman Fungsional Cincau Hitam.
Kini daun janggelan sebagai bahan baku mulai mahal dan sulit. Suwandi harus membeli sampai jauh ke Wonogiri, Ponorogo, dan Pacitan. Disana janggelan banyak tumbuh di bawah tegakan hutan pinus. Hutan-hutan di sekitar Malang belum ada yang di tumpang sari dengan tanaman janggelan. Kondisi di tengah moncernya usaha ini baginya adalah tantangan baru. Antara angan-angan-, harapan, cita-cita tak bisa ia bedakan.
Ketika sore di kota Batu dank abut tidak lagi menyapa. Perjalanan Suwandi belum selesai dengan cincaunya. Dalam kelebat mimpi malam ia melihat tanaman janggelan hidup berdampingan dengan pohon-pohon di hutan. Terus terang ia ingin orang-orang didesanya menyambut tahun baru dengan semangat. Berlaga mewujudkan mimpi menanam janggelan bersama. Cincau adalah sebuah pilihan.
Harapan Suwandi patut kita bela. Dan benar, tak ada sukses karena berleha-leha.
Penulis : Soesi Sastr0
Sumber : Majalah PKBL Action, Halaman 74 No. 16 Tahun II, Januari 2014