Ancaman krisis pangan di depan mata. Di satu sisi, kebutuhan pangan makin meningkat, sebaliknya, kapasitas produksi cenderung menurun. “Hukum besi Malthus” seolah benar-benar telah terbukti. Pertambahan penduduk, tidak diikuti peningkatan produksi pangan. Pandangan Malthus (Thomas Robert Malthus, ahli demografi dan ekonomi politik Inggris) kini seolah menjadi realitas dalam konteks hubungan penduduk dan produksi pangan. Penduduk bertambah dalam deret ukur, sedangkan peningkatan produksi pangan berada dalam alur deret hitung.

Ada relasi kausalitas perbandingan terbalik antara pertumbuhan penduduk yang selalu berhubungan dengan peningkatan konsumsi pangan, dan kemampuan produksi pangan yang selalu berada di bawah kebutuhan pangan. Fakta ini merupakan kondisi yang kini ada di depan mata dan menjadi potensi bencana yang sangat mengkhawatirkan.

Realitas di lapangan, petakan sawah tiap tahun bukannya bertambah, tetapi justru makin sempit. Industrialisasi dan kebutuhan pemukiman telah menggerogoti secara perlahan bentangan sawah. Di sisi lain, pencetakan sawah baru, sepertinya masih sebatas “kampanye politik” yang ramai di tingkat konsep (isu), tetapi miskin dalam penerapannya.

Hal lain, sawah-sawah yang ada, kini tak lagi sedigdaya dahulu. Anomali cuaca dan perubahan iklim yang menimbulkan bencana banjir dan kekeringan, acap kali menjadikan kapasitas sawah menghasilkan butir-butir beras, sebagai makanan pokok, terus melemah. Diversifikasi pangan, nasibnya juga hampir sama, sekadar ramai di tingkat konsumsi politik, tetapi penerapan di lapangan masih menyedihkan. “Ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Pemerintah harusnya melihat soal pangan sebagai inti kebijakan,” tutur Drs H Giri Priyono, MM, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian (BKP3) Indramayu.

Di Jawa Barat, fenomena “hukum besi Malthus” tampak begitu riil di lapangan. Pertambahan populasi penduduk tertinggi di Indonesia, di sisi lain, kemampuan daerah sentra pangan seperti halnya di sepanjang pantai utara (pantura), terus melemah. Sawah-sawah yang masih ada, kini terus kewalahan menghadapi bencana kekeringan saat kemarau, dan banjir saat musim hujan seperti sekarang ini.

Lihat saja di Indramayu sebagai sentra pangan terbesar Jawa Barat, seperti pada musim hujan kali ini, sedikitnya 10.000 hektare sawah telah berubah menjadi danau luas. Petani kesulitan memulai tanam. Bahkan yang sudah ditanam, padinya terancam rusak akibat sawah tergenang selama berminggu-minggu. Jadwal tanam yang telah ditetapkan pun seperti diporak-porandakan oleh banjir. “Kalau hujan terus datang dan genangan air tinggi, mana mungkin bisa memulai tanam. Bisa-bisa benih dewasa di penangkarannya. Sekarang menanam padi harus kucing-kucingan dengan hujan dan kemarau,” tutur Surtatang, Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indramayu.

Di Indramayu, dengan bentangan sawah pada kisaran 110.000 hektare, berdasar catatan di Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) setempat, produksi pangan (gabah) memang selalu meningkat seperti tiga tahun terakhir. Bahkan daerah ini selalu mengalami surplus produksi beras cukup besar, dan menjadi pemasok pangan bagi daerah lain di Jawa Barat, ataupun ke provinsi lain.

Belum lagi tambahan cakupan lahan melalui program tumpang sari yang kini terus digalakkan di areal hutan milik Perhutani yang mencapai sekitar 10.000 hektare. Dengan modal bentangan sawah 110.000 hingga 120.000 hektare sawah, produksi pangan di Indramayu pada kisaran minimal 1,2 hingga 1,3 juta ton gabah kering giling (GKG), atau sekitar 1 hingga 1,1 juta ton beras per tahun.

Dengan kapasitas mencapai sedikitnya 1 juta ton beras, dari Indramayu, setelah dikurangi konsumsi penduduknya, sedikitnya 700.000 hingga 800.000 ton beras beras masuk ke berbagai daerah. Tiap tahun, beras produksi Indramayu memenuhi cadangan pangan di pasar-pasar induk seperti Cipinang, Bandung, Bogor dan daerah sekitar. Di tingkat Badan Urusan Logistik (Bulog) selaku lembaga pemerintah untuk penyangga stok pangan, Bulog Indramayu tiap tahun selalu mengirim beras, baik ke daerah lain dalam satu wilayah Jawa Barat (move regional), maupun ke daerah lain di luar Jawa Barat (move nasional).”Indramayu selalu menjadi penyuplai beras ke Bulog lain di Jawa Barat maupun luar Jawa Barat. Rata-rata bisa mencapai 10.000 ton beras,” tutur Kepala Bulog sub Divisi Regional Indramayu, Sudarsono.

Bila sekadar bicara Indramayu, tentu tidak ada masalah. Produksi selalu surplus. Namun bagaimana dengan daerah lain yang produksi pangannya terbatas, atau bahkan minus. Surplus pangan dari Indramayu dianggap belum optimal jika diletakkan dalam konteks kebutuhan konsumsi beras Jawa Barat, atau bahkan secara nasional. “Potensi untuk terus ditingkatkan produksi berasnya masih cukup besar. Hanya memang butuh maksimalisasi potensi yang ada,” tutur Giri Priyono, Kepala BKP3.

Karena itu, meski telah surplus produksi beras, program peningkatan produksi pangan terus dilakukan. Bahkan Indramayu dijadikan daerah andalan pemasok beras, termasuk juga sentra pangan lain yang di Jawa Barat terbentang di sepanjang pantai utara (pantura) dari Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, hingga Karawang.

“Dari tahun ke tahun, kita terus berupaya maksimal meningkatkan produksi pangan. Ini karena bicara pangan bukan persoalan daerah, tetapi juga dalam konteks lebih luas. Kita terus memaksimalkan peranan Indramayu sebagai daerah sentra pemasok pangan, khususnya beras,” tutur Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Ir H Takmid, MM.

Program peningkatan produksi pangan ditetapkan melalui intensifikasi ataupun ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian, melalui penerapan teknologi pengelolaan pertanian (on farm) seperti pemupukan berimbang, penggunaan obat-obatan, penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan) yang memadai hingga pengendalian hama terpadu, ataupun pasca panen (off farm) yang lebih pada aspek pengelolaan produksi.

Infrastruktur, sarana, dan prasarana pendukung pertanian seperti irigasi bahkan terus direvitalisasi. Pembangunan Waduk Jatigede di Sumedang, salah satu tujuannya juga memaksimalkan potensi lahan pertanian di Indramayu yang selalu dihadapkan dengan masalah ketersediaan air. ”Air selalu menjadi masalah di Indramayu. Saat kemarau kekurangan sehingga banyak sawah kekeringan dan gagal panen (puso). Saat musim hujan seperti sekarang, sawah dihantam banjir, lagi-lagi ancamannya ialah gagal tanam atau pa¬nen,” tutur Kepala Dinas Pengairan dan Pertambangan, Ir Omarsyah.

Sementara itu, program ekstensifikasi dicapai melalui perluasan lahan. Satu-satunya yang dalam lima tahun mulai lebih intensif dilakukan ialah program tumpang sari di areal lahan Perhutani. Ada sedikit-nya tambahan cakupan lahan mencapai sekitar 10.000 hektare di areal hutan di Indramayu yang dijadikan tumpang sari berupa sawah melalui teknik tanam gogo rancah (goran). “Areal lahan tumpang sari hanya panen sekali, tetapi bisa menambah tingkat produksi,” tutur Takmid.

Berbagai cara juga terus ditempuh untuk memaksimalkan potensi pertanian. Kendati produksi pangan terus meningkat di Indra¬mayu, itu tidak mudah dilakukan. Apalagi bila menyangkut perubahan perilaku (paradigma) petani, misalnya yang berkaitan pola tanam seperti yang kini tengah digalakan dengan konsep Legowo 21.

”Secara teknis memang mudah. Hanya ketika diaplikasikan di lapangan, tidak mudah karena merubah kultur petani jauh lebih sulit. Hambatan lain ialah soal anomali cuaca. Faktor alam yang sulit diprediksi sangat memengaruhi kelancaran program pertanian di lapangan,” tutur Giri Priyono.

Meskipun begitu, jajaran pertanian di Indramayu tak mau menyerah. Maksimalisasi potensi pertanian terus digalakkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Semua demi meretas “hukum besi Malthus” sebagaimana “Revolusi Hijau” dahulu melakukannya, untuk sebuah langkah mulia berupa keseimbangan antara pertambahan populasi penduduk dan produksi pangan. (Agung Nugroho/”PR”)***

Pikiran Rakyat :: 31 Januari 2012, Hal. 26