RMOLJATENG.COM (11/10/2020) | Petani kopi Arabika di Dusun Gunung Malang, Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, kini tengah giat menanam kopi di lahan bekas tegakan hutan milik Perhutani.

Penanaman kopi itu sebagai upaya menghijaukan kembali lereng Gunung Slamet khususnya di wilayah Gunung Malang.

Bermula pada tahun 1999 tepatnya di petak 18 Lereng Gunung Slamet, Perhutani menebangi kayu dan melakukan penanaman kembali atau reboisasi.

Selanjutnya, Perhutani mengajak masyarakat yang berada di sekitar Lereng Gunung Slamet untuk menanam sayuran di bawah tegakan pohon yang bertahan selama 3 tahun.

Hal ini pun menguntungkan masyarakat untuk membantu perekonomian mereka pada saat itu hingga kerjasama tersebut berlanjut.

Lahan di bawah tegakan yang ditanami sayur rupanya memberikan kenyaman tersendiri bagi masyarakat terlebih didukung adanya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), masyarakat dengan leluasa menggarap lahan dengan ditanami sayuran.

Kemudian muncul Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bertugas untuk mengelola lahan di bawah tegakan bekerja sama dengan Perhutani.

Bertahun-tahun lahan tersebut ditanami dengan sayuran sampai pada tahun 2017 mulai muncul gagasan untuk menanam kopi. Namun, apa mau dikata berganti kepengurusan LMDH rupanya membawa dampak pada tanaman kopi yang mulai digalakkan petani kopi.

“Jadi dulu kopi sempat dibuang, menurut LMDH pada saat itu kopi dinilai tidak menghasilkan dan petani akhirnya mulai malas untuk menanam kopi, hanya ada beberapa batang kopi yang ditinggal dan digantikan lagi dengan komoditas sayuran dan tanaman dilem yang bukan tanaman keras,” kata Karsum, petani Kopi Gunung Malang, Minggu (11/10).

Tren kopi akhirnya kembali lagi pada tahun 2008 dimulai dari lahan petak 58 atau yang sekarang dikenal dengan area Wadas Gantung yang sempat gundul karena ditanami sayuran.

Hal ini kemudian membuat anak-anak Dusun Gunung Malang, Desa Serang, Kecamatan Karangreja yang tergabung dalam Komunitas Gumapala atau Gunung Malang Pecinta Alam merasa prihatin dan meminta agar lahan di area Wadas Gantung tidak lagi ditanami sayuran.

“Dari tahun 2008, kami mulai berpikir apabila terjadi kejadian yang tidak diinginkan seperti erosi tentu ini akan membahayakan masyarakat khususnya di Dusun Gunung Malang dan sekitarnya, dari situlah kami anak-anak Gumapala mulai menanami petak 58 agar Lereng Gunung Slamet tidak gundul,” ujarnya.

Sengketa demi sengketa akhirnya terselesaikan dengan mempertahankan agar lahan di Wadas Gantung tidak lagi ditanami sayuran.

Setiap hari jumat Komunitas Gumapala mengadakan kegiatan Jumat menanam hingga akhirnya kegiatan ini terdengar oleh para pecinta alam dan pegiat lingkungan.

“Mereka membantu bahkan ada yang membantu bibit dan membantu menanam tanaman yang sifatnya keras untuk menghijaukan kembali lahan yang sempat gundul,” kata Karsum.

Kemudian di tahun 2013, Komunitas Gumapala mulai mengembangkan lahan tidak hanya di petak 58 tetapi di petak-petak lainnya seperti petak 19 dan petak 18 yang juga membutuhkan perhatian.

Anak-anak Gumapala menggalakkan kembali tanaman kopi yang sebelumnya juga sempat melakukan pembibitan bahkan dibagikan secara gratis bagi para petani dan pegiat kopi.

“Hanya saja seiring berjalannya waktu dan kesibukan dan petani kopi Gunung Malang mulai merasakan hasil kerja keras mereka dan disibukan dengan proses panen dan produksi kopi akhirnya program pembibitan berhenti berganti dengan budidaya kopi,” ungkapnya.

Harapan terbesar petani Kopi Gunung Malang bersama pecinta alam dan pegiat lingkungan ingin lahan Perhutani tetap produktif dan menguntungkan berbagai pihak.

Hutan yang semat gundul hijau kembali karena sifat tanaman kopi yang konservatif dan masyarakat diuntungkan dengan hasil produksi buah kopinya.

Sumber : rmoljateng.com

Tanggal : 11 Oktober 2020