Sebelum 40 tahun lalu, Omo, 65, adalah pemilik hamparan sawah di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Namun, sejak 1971, bersama ratusan warga lainnya, ia harus meninggalkan desa.
Ketika itu, Waduk Jatiluhur selesai dibangun. Rumah, sawah, dan kebiasaan hidup warga pun ditenggelamkan.
Omo pindah ke Kampung Ciputat, Desa Sukamanah, Kecamatan Sukasari, yang berada di pinggiran Waduk Ir. H Juanda itu. Bedanya, lahan sawah yang tersedia tidak seluas dulu lagi. Sebagian besar lahan yang ada di desa ini adalah milik Perum Perhutani.
“Saat itu, kami butuh membangun rumah. Secara sembunyi-sembunyi, kami menanam pohon bambu di lahan Perhutani,” aku Omo. Di Sukamanah terdapat tiga blok hutan bambu yang luas totalnya 385 hektare. Resort Pemangkuan Hutan Parang Gombong, pengelola kawasan, mencatat ada 118 kepala keluarga yang menjalani hidup sebagai petani bambu.
Mereka tidak perlu lagi menanam secara kucing-kucingan. “Masyarakat diizinkan menanam bambu di lahan milik Perhutani,” jelas Kepala Resort Pemangkuan Hutan Parang Gombong Andi Kusnadi, beberapa waktu lalu.
Dudung, Ketua RT di Sukamanah, menyebutkan warga serius menekuni budidaya bambu karena penanganannya mudah, nyaris tanpa biaya operasional, dan cepat menghasilkan. “Setelah lima tahun bambu bisa dipanen.“
Saat ini ada sekitar 40 ribu rumpun bambu, yang sebagian besar berada di Kampung Ciputat Wetan. Satu keluarga yang memiliki 100 rumpun bambu siap panen dapat mengantongi sekitar Rp 200 ribu per bulan. Sebatang bambu dihargai Rp 2.000.
Selain dari lahan sendiri, warga bisa mengantongi tambahan pendapatan dengan menjadi pekerja saat panen di rumpun milik tetangga. Hasilnya, bisa mencapai Rp 100 ribu per hari.
Namun, beberapa tahun lalu, pengusaha menyatroni Sukamanah. Warga yang tergiur gepokan fulus melepas hutan bambunya. “Kini, banyak keluarga yang jatuh miskin karena hanya punya 20 rumpun bambu. Sebaliknya pengusaha dari kota bisa memiliki 5.000 hingga puluhan ribu rumpun,” kata Dudung, yang juga pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Bambu Jaya, Sukamanah.
Untuk mengangkat kehidupan warga, pemerintah dan sejumlah perusahaan pelat merah melatih mereka membuat kerajinan berbahan dasar bambu. Banyak warga yang kini terampil membuat kerajinan, perabot dan hiasan rumah, juga barang seni dari bambu. “Pemerintah lupa membuka pasar untuk produk kerajinan kami,” tandas Dudung.
Nama Media : MEDIA INDONESIA
Tanggal         : Senin, 7 November 2011, Hal. 10
Penulis           : Muhammad Ridwan
TONE              : NETRAL