Musim panen padi di berbagai daerah di Jawa Barat yang kini masih berlangsung banyak menjadi harapan untuk kecukupan cadangan pangan, baik lokal Jabar maupun antar wilayah. Paling tidak, sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan daerah, di tengah meningginya kebutuhan beras seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Jabar.

Potensi pengadaan cadangan padi dan beras di Jabar muncul pula dari kawasan-kawasan lahan tadah hujan, di dalam ataupun berdekatan dengan kawasan hutan. Setiap tahunnya, pasokan gabah dari lahan tadah hujan di hutan mampu menambah cadangan beras, bukan hanya bagi cadangan pangan masyarakat setempat juga untuk pasokan ke konsumen umum.

Jika dibandingkan dengan lahan-lahan tadah hujan atau huma lainnya, kawasan pembudidayaan tanaman padi di wilayah hutan ataupun areal sekitarnya relatif menguntungkan. Kelestarian hutan setempat mampu menyediakan kontinuitas cadangan air yang dibutuhkan untuk penanaman padi. Potensi tersebut kemudian dimanfaatkan pemerintah sebagai upaya penguatan ketahanan pangan nasional. Produksi padi dari berbagai lahan tadah hujan di kawasan ataupun sekitaran hutan dicoba dioptimalkan.

Langkah tersebut dilakukan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K). Ada lima BUMN yang ditugasi menggarap GP3K, yaitu Perum Perhutani 55.500 ha, Perum Bulog 104.000 ha, PT Sang Hyang Seri (SHS) 450.000 ha, PT Pertani 400.000 ha, dan PT Pusri 200.000 ha, dengan target perolehan total 3,725 juta ton gabah kering giling (GKG).

Khusus di Jabar, pelaksanaan GP3K sangat mengandalkan lahan-lahan pada kawasan hutan. Dibandingkan dengan sebelumnya, penanaman padi pada kawasan hutan yang kini dibantu GP3K cukup diharapkan membawa perubahan lebih baik. Berbagai hasil panen padi dari GP3K kini diperoleh, misalnya dari kawasan hutan Perum Perhutani Unit III Kabupaten Sumedang, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Subang, dll. Kawasan-kawasan tersebut diketahui sebagai sentra-sentra produksi padi huma, yang umumnya memang diusahakan pada kawasan hutan ataupun pinggirannya.

Harus dibenahi
Ketua Kontak Tani Hutan Andalan (KTHA) Jabar, Saefudin mengatakan, melalui GP3K sebenamya para petani desa hutan, terutama yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebenamya mulai terbantu. Perhatian dan bantuan pemerintah mulai diterima, terutama benih padi, alokasi pupuk melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan bimbingan teknis petugas terkait.

Situasinya cukup berbeda dibandingkan dengan masa lalu, saat para petani desa hutan masih terpinggirkan. Ketika berbagai program dan bantuan pemerintah diperoleh para petani padi di lahan sawah teknis, para petani desa hutan hanya menjadi penonton. Dengan sejumlah bantuan yang kini diperoleh, menurut dia, diharapkan mampu mendongkrak produktivitas hasil tanaman padi para petani desa hutan. Soalnya, saat ini rata-rata produksinya masih sekitar 2,5 ton sampai dengan 3,5 ton gabah kering pungut (GKP) per hektare.

Hanya, menurut Saefudin, pelaksanaan GP3K masih memerlukan kesinergian antar seluruh pelaku. Belum optimalnya sinergi antar pihak membuat GP3K masih banyak yang harus dibenahi, misalnya mendorong Perum Bulog agresif membeli hasil panen petani desa hutan, alokasi pupuk lebih optimal, pembiayaan bank, dll. Karena kondisi demikian, menurut Saefudin, akhirnya para petani pun kembali kepada sistem penjualan secara tradisional kepada tengkulak.

Pada sisi lain, pelaksanaan GP3K terkesan lebih dibebankan kepada Perum Perhutani, padahal perannya lebih kepada pengelolaan hutan. Yang diharapkan sebenarnya adalah optimalisasi sinergi antar pihak dalam pasokan sarana produksi pertanian secara langsung ke petani desa hutan. “Apalagi tantangan pengadaan pangan kini semakin berat karena kebutuhan yang terus meningkat, baik karena pertambahan penduduk, anomali ikhm, rebutan dengan pasokan bahan bakar nabati, dll.,” kata Saefudin.

Pebisnis beras asal Bandung, H Ermaya mengatakan, potensi produksi dan pasokan beras dari huma atau lahan tadah hujan di sekitaran hutan di Jabar memang sering menjadi andalan. Sering terjadi, manakala daerah Jabar sudah kehabisan stok beras dari sawah irigasi, banyak masyarakat desa hutan masih menyimpan cadangan gabah dan beras mereka.

Yang menjadi kendala selama ini adalah transportasi dan belum optimalnya para petani hutan mengusahakan padi. Kendala transportasi ke pelosok sebenarnya dapat diatasi Perum Bulog jika lebih agresif membeli hasil panen petani desa hutan.

Ermaya mencontohkan, rangsangan dari sistem penjualan sebenarnya muncul dari Perum Bulog yang kini mendatangi berbagai pelosok untuk mengumpulkan hasil panen. Sebenarnya aparat Bulog dapat pula diarahkan ke berbagai kawasan produksi padi di desa hutan, dengan daya tarik pembelian sesuai dengan harga patokan pemerintah dan secara kontan.

“Berbagai sistem ‘jemput bola’ dari seluruh pihak terkait langsung kepada para petani di pelosok akan menjadi kunci percepatan pengadaan cadangan pangan. Namun, ini pun harus didukung dengan sosialisasi dan penanganan secara agresif dan lebih kompak, karena merupakan suatu kesatuan yang harus beriringan,” ujar Ermaya.

Pikiran Rakyat:: 20 April 2012, Hal 25