Banyak anggapan kayu adalah bisnis yang hampir tenggelam, sunset industry. Aturan tebangan yang semakin ketat dan kebijakan penyelamatan hutan menyebabkan bisnis berbiaya tinggi.

Padahal harga pasar justru tertekan krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat. Meski demikian, sebenarnya penebangan hutan yang terlalu masif juga salah satu yang memberi ekses negatif dari industri itu sendiri.Semakin luas hutan yang ditebang, semakin jauh jarak yang dibutuhkan untuk tebangan selanjutnya, lantaran hutan-hutan pinggiran sudah tak lagi berkayu.

Artinya, biaya penebangan juga semakin tinggi karena jarak tempuh berbanding lurus dengan biaya bahan bakar, belum lagi upah tenaga kerja yang semakin panjang jam kerjanya. Hal tersebut menyebabkan penurunan produksi tebangan, atau setidaknya menyebabkan kesulitan meningkatkan area tebangan.

Kondisi itu dibenarkan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Menurutnya, penurunan areal tebangan terjadi lantaran tingginya biaya yang harus ditanggung pengusaha. “Saat ini hutan di pinggiran sudah habis ditebang sehingga penebangan harus masuk ke hutan terjauh, hingga 200 km-300 km ke dalam.”

Belum lagi program moratorium izin baru juga menyebabkan banyak wilayah baru tak dapat ditebang kayunya. Pemberlakuan moratorium yang menyebabkan luas areal tebangan terus mengalami penurunan dari rerata 9 juta hektare menjadi 4-5 juta hektare dalam 2 tahun terakhir.

Tak selesai sampai di situ. Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berharap setoran dari Kementerian Kehutanan juga ditambah. Selama ini kementerian yang kini digawangi Zulkifli Hasan itu beserta sektor yang digawanginya dianggap tidak berkontribusi banyak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) maupun anggaran negara.

PNBP sektor kehutanan cenderung menurun sejak awal 2000. Bahkan dalam kurun waktu 2004-2010 penerimaan dari sektor ini mengalami rerata penurunan hingga 1% yang dicurigai terjadi akibat penurunan penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH).

Meski demikian dalam periode 2010-2012 penerimaan kehutanan meningkat rata-rata 11% didorong kenaikan tarif Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Sektor kehutanan rata-rata menyumbang 6,14% terhadap PDB pertanian atau 0,86% terhadap PDB nasional selama 2005- 2009.

Nilai tersebut turun 0,55% tiap tahun. Berkaitan dengan hal itu maka berbagai tarif diharapkan naik. Bahkan pemerintah saat ini tengah menggodok rencana kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk sektor kehutanan dimulai melalui peningkatan iuran DR. Total PNBP Sumber Daya Alam Kehutanan (SDA) pada akhir tahun lalu mencapai Rp3,37 triliun.

Nilai tersebut tidak meningkat dibandingkan PNBP SDA Kehutanan pada 2011 Rp3,37 triliun. Meski pada tahun lalu tak ada peningkatan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk meningkatkan target PNBP sektor kehutanan pada tahun ini sebesar 23,99% menjadi Rp 4,19 triliun.

PENINGKATAN TARIF

Sebab itu saat ini opsi yang dimiliki pemerintah adalah peningkatan tarif DR. Pemerintah menargetkan PNBP DR pada tahun ini dapat mencapai Rp1,77 triliun, meningkat 24,09% dari target penerimaan tahun lalu Rp1,42 triliun. Sementara hingga Februari 2013 realisasi penerimaan PNBP DR mencapai Rp180,99 miliar, atau 10,21% dari target sepanjang tahun.

Padahal selain berbagai tarif usaha, industri pengolahan kayu masih harus berhadapan dengan berbagai biaya sertifikasi. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bersifat wajib dan Forest Stewardship Council (FSC) yang bersikap sukarela hanya salah dua contoh dari berbagai sertifikasi mengenai legalitas dan kebersinambungan (sustainability) bisnis kayu.

Sertifikasi SVLK dan FSC misalnya, diperkirakan meningkatkan biaya produksi hingga 15%-20% karena diperlukan sistem pengelolaan baru yang legal dan lebih berkesinambungan. Padahal meski terus bertumbuh, tetapi kenyataannya pasar tersebut belum terlalu besar, dalam lingkup internasional sekalipun.

Bambang Sukmananto, Direktur Utama Perum Perhutani, mengaku perusahaan yang di pimpinnya belum dapat menikmati marjin harga hingga 20% dari kayu bersertifikat FSC yang di produksinya melalui 7 kesatuan Pemangku Hutan (KPH) dari 57 KPH yang dimilikinya. Bahkan, lanjutnya, tambahan harga 10% itu saja ditentukan oleh Perum, bukan berdasarkan keinginan pasar. Menurutnya apabila Perhutani tidak “memaksakan” penyesuaian harga, maka pasar juga tidak akan melakukan penyesuaian. Dia menilai saat ini pasar lebih peduli pada kualitas baik dan harga murah, tanpa terlalu mempedulikan sertifikasi dan legalitas.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benyamin pernah mengungkapkan saat ini harga jual kayu adalah isu sentral bagi pengusaha lantaran harga dunia yang terus turun, sementara pemerintah Indonesia justru membebankan biaya yang semakin tinggi. Apalagi, lanjutnya, pemerintah menaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor kehutanan. Selain itu juga ada wacana dari pemerintah untuk meningkatkan PNBP.

Jurnalis : Rika Novayanti
Bisnis Indonesia, 11 April 2013 hal. 26