Persoalan sengketa lahan di Indramayu yang melibatkan pihak Keraton Kasepuhan Cirebon dan negara yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan melalui Perum Perhutani, sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum. Jika persoalan ini dibiarkan mengambang, rakyat yang akan dirugikan karena resah dengan janji-janji pelepasan hak milik.
”Siapa pun nantinya yang terbukti sebagai pemilik lahan itu harus memerhatikan keberadaan dan nasib petani penggarap yang sudah puluhan tahun mengelola lahan itu,” kata Guru Besar Sosiologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon, Abdullah Ali, Kamis (26/5).
Menurut dia, sengketa lahan yang melibatkan pihak keraton di Cirebon adalah persoalan klasik, karena kasus-kasus serupa pernah terjadi di wilayah kota maupun Kabupaten Cirebon. Rakyat penggarap atau mereka yang tinggal terdekat dengan obyek sengketa selalu yang menjadi korban.
Secara sosiologis, lanjut Ali, penggarap juga akan lebih memilih pengelolaan lahan itu oleh pihak keraton. Alasannya, secara tradisional penggarap tidak memiliki kewajiban hukum yang mengikat terhadap keraton. ”Mereka hanya menyumbangkan hasil bumi kepada keraton saat panen atau pada waktu perayaan Mauludan. Berbeda dengan pengelolaan oleh Perhutani yang disertai persyaratan tertentu, seperti perawatan tanaman hutan dan target produksi,” katanya.
Kendati demikian, kondisi sosiologis warga seperti itu hendaknya tidak dimanfaatkan untuk kepentingan salah satu pihak dalam persoalan sengketa tanah ini. ”Pembuktian di meja hijau tetaplah jalan terbaik. Selanjutnya, dicari jalan keluar bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat penggarap,” kata Ali.
Dalam sebulan terakhir, ribuan warga membuat surat pernyataan di atas meterai yang membenarkan lahan itu adalah milik keraton dan mereka memohon pelepasan hak kepada Sultan. (REK)
Nama Media : KOMPAS
Tanggal : Jumat, 27 Mei 2011 hal 26
TONE : NETRAL