Produksi biodiesel nyamplung Purworejo tergolong sudah bisa dipertanggungjawabkan untuk pemakaian secara umum. Sehubungan itu, jumlah produksinya akan ditingkatkan dari 200 liter/ hari menjadi 400 liter/ hari. Usai uji coba awal Maret lalu, petugas Puslitbang Kementerian Kehutanan dan dari ESDM (energi sumber daya mineral) Pusat menyempatkan mengevaluasi ke Purworejo. Beberapa waktu kemudian, petugas dari Purworejo diundang ke Jakarta untuk pemaparan biodisel nyamplung.

Kabid Kehutanan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Purworejo, Ir Argo Prasetyo menuturkan, upaya meningkatkan kapasitas produksi akan dilakukan melalui revitalisasi mesin. Karena peralatan yang dimiliki masih perlu peningkatan kualitas. Menurut rencana akan dilakukan penggantian vacum drying untuk menghilangkan kandungan air.

Saat ini, alat tersebut terbuat dari pelat besi akan diganti dengan stainles. Kecuali itu akan mengupayakan pemasangan listrik untuk menggerak mesin. Selama ini menggunakan generator set (genset). Dengan menggunakan listrik diharapkan produksinya lebih cepat dan hemat biaya. Ir. Argo Prasetyo menuturkan, produksi biodisel nyamplung itu bermula ketika akhir 2009 Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menghibahkan alat pengolah biofuell seharga Rp 650 juta kepada LMDH Wana Lestari, Desa Patutrejo, Grabag, Purworejo. Semula peralatan tersebut hanya untuk sarana penelitian.

Tetapi, bersamaan dengan itu Dirjen RLPS (rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial) melalui SK Nomor 22/VBPS/2010 menunjuk Pemda Purworejo menjadi klaster unggulan nasional bidang HHBK (hasil hutan bukan kayu) untuk komoditas nyamplung. Selain itu ditunjuk sebagai demplot desa mandiri energi. Hingga akhirnya dipikirkan bagaimana cara menghidupkan pabrik biodisel berbahan baku nyamplung.

Tiga Bulan
Ketika itu, pabrik hanya mampu berproduksi selama tiga bulan. Hingga akhirnya digandenglah CV Cahaya Khatulistiwa, Bantul (DIY), untuk penyempurnaan teknis, serta LSM Relung, Yogyakarta, untuk penataan kelembagaannya. Dengan demikian produksi biodisel itu merupakan hasil kerja sama dengan beberapa pihak, termasuk dengan Perhutani dan LMDH Wana Lestari, Desa Patutrejo.

Dalam usaha tersebut Perhutani sebagai penyedia buah nyamplung. Di wilayah Purworejo tanaman nyamplung milik Perhutani ada 132 ha, dengan jumlah pohon 36.114 buah. Dari jumlah itu sekitar 10 ribu pohon yang siap dipanen. Sisanya baru berumur rata-rata tiga tahun.

Selain itu, tanaman nyamplung milik warga ada sekitar 50 hektare. Saat sekarang tanaman serupa di daerah tetangga juga cukup banyak. Misalnya saja di Kebumen ada sekitar 800 ha usia 5-6 tahun, dan di Cilacap sekitar 900 ha belum siap panen. Tanaman nyamplung bisa dipanen sejak umur 6 tahun hingga 50 tahun. Setiap pohon bisa menghasilkan sekitar 200 kg/panen. Untuk harga beli buah nyamplung dari masyarakat, yang kering dibeli Rp 700-750/kg.

Harga jual biodisel untuk saat sekarang, jelas Ir. Argo, berkisar Rp 8.500 – Rp 9 ribu/liter. Sedangkan harga biokerosin pengganti minyak tanah Rp 6-7 rib/liter. Kalau jumlah produksi meningkat, kemungkinan harga jualnya lebih murah. Menurut Argo, harga solar tanpa subsidi sekitar Rp 9.300/liter. Maka kalau subsidi dicabut harganya lebih mahal dari biodisel nyamplung.

Dikatakan, saat sekarang sudah banyak pesanan biodisel nyamplung. Antara lain dari Puslitbang Kementerian Kehutanan pernah memesan untuk membeli seluruh hasil produksi. Selain itu Bupati Drs H Mahsun Zain M.Ag akan meminta seluruh industri di Purworejo untuk membeli biodisel nyamplung. Kendala yang masih menghadang untuk menjual kepada masyarakat umum. Sebab, harus dijalin kerjasama dengan Pertamina sehingga perlu dibahas bagaimana pemasaran dengan Pertamina.(Eko Priyono-52)

SUARA MERDEKA :: 01 April 2012 Hal. 18