HUTAN Jawa Barat tidak hanya menghasilkan kayu. Kekayaan lain yang mengalir dari rimbunnya pepohonan pinus ialah gondorukem (Pinus merkusil) atau gum rosin.
Gondorukem terbuat dari getah pinus, sama halnya dengan terpentin. Dua produk penting itu biasa digunakan sebagai bahan dasar dalam industri kosmetik, kimia, dan pangan. Gondorukem merupakan residu atau sisa dari hasil distilasi alias penyulingan getah pinus yang berbentuk padatan berwarna kuning jernih sampai kuning tua.
Direktur Komersial Nonkayu Perum Perhutani, M Soebagja, memaparkan Perhutani ialah produsen gondorukem terbesar di Indonesia.
“Yang membanggakan, Indonesia ialah negara ketiga terbesar pengekspor gondorukem di dunia.”
Produk unggulan itu dipasok dari 12 kesatuan pemangku hutan (KPH) dari total 14 KPH yang ada di Perhutani Jawa Barat-Banten. Tahun lalu, produksi terpentin Perhutani Jabar-Banten mencapai 70 ribu, sedangkan gondorukem mencapai 20 ribu ton.
Keberadaan hutan pinus, atau populer disebut hutan cemara, menjadi salah satu ikon di sejumlah kawasan di Jawa Barat.Populasi hutan pinus tersebar di sekitar Bandung utara dan Bandung Selatan, Sukabumi, Sumedang, juga Bogor.
Di Jawa Barat, keberadaan hutan pinus bukan hanya terdapat di sejumlah kawasan kehutanan, melainkan juga di beberapa unit perkebunan. Pohon-pohon pinus dimanfaatkan dari berbagai aspek kepentingan, mulai aspek ekonomi, ekologi, hingga wisata alam.
Soebagja mengakui dari sisi bisnis, saat ini penyadapan pohon pinus di berbagai kawasan hutan pinus di Jawa Barat terus digenjot. Apalagi, saat ini harga gondorukem dan minyak terpentin di pasar dunia cukup tinggi.
“Indonesia dengan posisinya sebagai produsen utama gondorukem dan minyak terpentin dunia memacu gairah untuk lebih banyak memproduksi kedua komoditas.Warga sekitar hutan pun bisa menambah penghasilan dengan terlibat dalam penyadapan,” papar sarjana ekonomi lulusan Universitas Islam Nusantara Bandung itu.
Untuk warga sekitar hutan, Perhutani menerapkan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Dengan menjadi penyadap getah pinus, ekonomi warga pun terangkat. “Ini berarti Perhutani telah jauh hari menerapkan pola ekonomi kerakyatan, seperti yang diinginkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala,” lanjut Soebagja.Pendapatan meningkat Gondorukem bukan satu-satunya andalan bagi pendapatan Perum Perhutani nonkayu. Masih ada deretan potensi lain, di antaranya minyak kayu putih, madu, dan kopi.
Ada tiga wilayah pangkuan hutan yang ada di Perum Perhutani, yaitu Divisi Regional Jawa Barat dan Banten, Divre Jawa Tengah, dan Divre Jawa Timur. Pada setiap divre itu ada keunggulan dalam bidang usaha nonkayu.
Di Jawa Barat dan Banten, kata Soebagja, pendapatan dari bisnis nonkayu lebih dominan. Setiap tahun ada peningkatan pendapatan.
“Di Jawa Barat, terutama di kawasan Bandung Selatan, yaitu Ciwidey dan Pangalengan, kopi menjadi salah satu unggulan dari hasil usaha nonkayu,” jelas pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, ini.
Unit Usaha Komersial Nonkayu ialah salah satu divisi di tubuh Perum Perhutani, yang keberadaannya ditujukan untuk mendongkrak pendapatan negara dari sektor kehutanan, pada bidang usaha bukan kayu. Unit kerja baru itu baru terbentuk empat tahun lalu, sebagai salah satu implementasi dari PP No 72 Tahun 2010. Aturan itu menetapkan Perum Perhutani sebagai salah satu penyumbang pendapatan nasional dalam kegiatan produksi di bidang kehutanan.
“Kami optimistis unit usaha komersial nonkayu akan memenuhi target pencapaian dalam mendongkrak pendapatan Nasional. Konsep pengelolaan hutan yang ada sekarang terus dikembangkan, dan potensi yang dihasilkan dari hutan ini sangat besar,” tegasnya.
Jika dikelola dengan baik dan benar, bapak empat anak itu yakin hasilnya akan jauh lebih besar lagi. “Saat ini, Perhutani memang belum menjadi penyumbang APBN terbesar, tapi kami optimistis bisa menuju ke arah sana.” (BU/N-3)
Sumber    : Media Indonesia, hal.23
Tanggal    : 18 Maret 2015