Budidaya porang yang rencananya dikembangkan oleh Perum Perhutani (Persero) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah seluas 1.200 haktare (ha) akan menggunakan sistem bagi hasil dengan petani. Untuk persentasenya minimal 50:50. Persentase bagi hasil tersebut atas pertimbangan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Porang rencananya akan ditanam di bawah tegakan. “Bagi hasilnya, ya minimal 50:50 lah. Karena kita kan harus balik modal,” kata Direktur Utama Perhutani Bambang Sukmananto di Tegal, Jawa Tengah, akir pekan kemarin.

Menurut Bambang, pengembangan tanaman porang ke depan sangat menjanjikan. Meskipun, ia mengakui membudidayakan porang membutuhkan investasi awal yang tinggi. Namun porang berbiaya rendah pasca panen di tahun ketiga. “Porang hanya ditanam sekali namun bisa diproduksi terus menurus. Investasi awal cukup mahal, karena perlu tanah yang agak gembur. Butuh Rp 15,4 juta per ha di tahun pertama, tahun kedua butuh Rp 6,29 juta, dan tahun ketiga Rp 10,07 juta,” paparnya.

Bambang mengusulkan penanaman porang juga dilakukan Nganjuk, Saradan, Madiun, Bojonegoro, daerah dan lainnya. Tiap daerah mendapat jatah lahan porang seluas 200 ha dan akan meningkat menjadi 1.000 ha pada 2014 mendatang. “Kami harus menyediakan lahan dengan kemiringan tanah minimal 15 derajat agar mengurangi kadar air garam, sehingga porang bisa tumbuh dengan baik,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menginstruksikan Perhutani untuk melibatkan masyarakat miskin dalam menanam porang di Blora. “Saya meminta Perhutani segera mengembangkan lagi tanaman porang karena terbukti dapat mendapatkan penghasilan tambahan sekaligus ikut mengentaskan kemiskinan di sejumlah lokasi,” kata Dahlan.

Penanaman porang berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat di Kabupaten Blora. Aktifitas ini diperkirakan bisa menyerap tenaga kerja hingga 3.800 orang. “Kita membutuhkan 3-4 orang pekerja untuk setiap hektarnya yang direkrut dari desa-desa miskin di Kabupaten Blora,” ucapnya. Mantan Dirut PLN ini juga meminta Perhutani menerapkan sistem bagi hasil, sehingga kesejahteraan semakin meningkat dan mampu mengentaskan kemiskinan. Penanaman diharapkan sudah bisa direalisasikan pada September-Oktober tahun ini.

Porang atau Amorphophallus Onchophyllus oleh masyarakat Jawa dikenal dengan nama Iles-Iles atau suweg. Tanaman ini merupakan tumbuhan semak (herba) yang memiliki tinggi 100–150 cm dengan umbi yang berada di dalam tanah. Porang bisa digunakan sebagai bahan makanan seperti mie, tahu, shirataki dan konyaku. Umbi porang juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri lem, campuran bahan kertas, pengganti media tumbuh mikroba, isolator listrik, bahan parasut, bahan obat, penjernih air, pengikat formula tablet, dan pengental sirup.

Sebelumnya, Bambang mengatakan bahwa Perhutani akan menyiapkan penanaman Porang. Untuk penanaman, diperkirakan menghabiskan sekitar Rp 4 juta per hektar. Dana tersebut digunakan baru untuk penanaman tahun pertama. ”Porang itu tahun pertama belum bisa dinikmati hasilnya, baru bisa dinikmati tahun ketiga setelah melewati masa tanam di tahun pertama,” katanya.

Bambang menjelaskan, Porang hanya perlu ditanam sekali, namun bisa berproduksi terus menerus sehingga tidak perlu ditanam lagi. “Untuk tahun pertama pembiayaannya cukup besar,” tambahnya. Pada tahap awal terkait penanaman tahun pertama, menurut dia, untuk menghasilkan sebanyak 11.792 ton Porang diperlukan biaya Rp 33 miliar.

Ekonomi-sosial

Ide untuk menanam porang tak lepas dari pertimbangan ekologis. Tumbuhan ini dinilai cocok untuk tumbuh kembang di bawah tanaman tegakan hutan. Di samping itu, porang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial dalam rangka pengembangan dan pelestarian hutan.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Perum Perhutani KPH Saradan Ida Alfiyanti mengatakan umbi porang dinilai laku untuk dijual, saat ini harganya menembus Rp 2.500 per kg basah atau baru petik. Umbi porang kering atau chips porang dihargai lebih mahal lagi, Rp 20.000 per kg. Masih ada yang lebih mahal yakni tepung porang. Namun, kemampuan masyarakat belum sampai ke sana sehingga teknologi pembuatan tepung masih dikuasai pabrik besar.(Bari)

Neraca hal. 10 ::: Senin, 04 Februari 2013