Omah Tani, sebuah organisasi petani di Kabupaten Batang, tak pernah berhenti dalam berjuang untuk kesejahteraan anggotanya. Perjuangan itu tidak pemah berhenti, sehingga tidak aneh jika ada beberapa orang yang menganggap organisasi ini negatif. Namun, melalui perjuangan yang tidak pernah lelah, akhirnya tidak sedikit pula mereka yang memuji.
Bahkan kini, hasil kerja samanya dengan Perum Perhutani Kendal membuahkan hasil yang menguntungkan negara. Sebab bentuk kerja sama itu membuahkan hasil sertifikasi ecolabeling bagi Perhutani, sehingga produknya bisa diterima langsung di Uni Eropa dan Amerika tanpa melalui broker negara lain. Bahkan harganya bisa empat ka1i lipat dibanding dengan penjualan lewat broker.
“Keberhasilan ini akan diwujudkan untuk seluruh Perhutani di Jawa,” kata Handoko Wibowo, Divisi Hukum “Omah Tani” yang ditemui Suara Merdeka di rumahnya, kemarin.
Lelaki pengacara itu menjelaskan, perjanjian kerja sama itu mengakhiri konflik sejak tahun 1957 antara petani Sengon, Gondang, Kuripan, Kecamatan Subah dengan KHP Kendal sebagai prasyarat sertifikasi ecolabeling dari Uni Eropa.
Bentuk kerja sama itu intinya adalah KPH Kendal mempersilakan petani masuk ke hutan dan memanfaatkan hutan untuk penanaman, namun tidak memiliki hak kepemilikan tanah tersebut. Padahal, dulu petani masuk hutan saja dilarang, apalagi menanami tanahnya.
Wilayah Perhutani Kendal yang ditangani petani yang tergabung dalam Omah Tani, menurut Handoko, berlokasi di petak 107, Desa Sengon, Gondang, dan Kuripan, Kecamatan Subah. Luas tanahnya 162 ha yang digarap oleh 950 KK.
MoU pada tahun 2007 itu akhirnya menjadi dasar proses ecolabeling tingkat dunia dengan supervisi dari Word Mark. Hasilnya, Perhutani mendapatkan sertifikat ecolabeling yang membuat jalan mulus bagi Perhutani untuk menjual hasil produknya ke Uni Eropa dan USA tapa melewati negara lain. “Untuk menjual produk Perhutani ke Eropa ataupun USA, kita selama ini melalui broker dari Vietnam atau Singapura.
Akhinya, model MoU seperti yang dilakukan petani dengan Perhutani jadi percontohan. MoU serupa diterapkan untuk seluruh Jawa.
Konflik Tanah
Perjuangan Petani Batang memang panjang, diawali dari tahun 1998. Waktu itu para petani tergabung dalam wadah Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB). Mereka berkonflik dengan PT Tratak yang menguasai tanah 90 ha tapi ditelantarkan. Perusahaan sebenarnya secara fisik sudah tidak ada, tanah yang dikuasai ditelantarkan, mereka tidak membayar pajak. Tahun 1988, akhirnya petani ikut menggarap tanah itu, namun sepertiga hasil penggarapan hams diSerahkan pada mandor.
Akhirnya terjadi konflik. Namun, dalam menyelesaikan konflik, petani tidak mau menggunakan kekerasan. “Kita lebih memilih antikekerasan,” tegas Handoko.
Tahun 2008, ternyata ada penyerbuan preman yang dibayar oleh investor yang akan beli PT Tratak. “Kami melawan, sehingga preman tak berani. Atas perjuangan itu, maka petani memberi tetenger dengan membangun posko yang digunakan untuk mengaji, dan berbagai kegiatan lainnya di Desa Tumbrep.
Kini, tanah 90 ha itu, sekitar 40 persennya sudah menjadi sawah dan tegalan yang digarap petani. Di lahan itu, selain ditanami padi, juga tanaman lainnya, seperti jagung, ketela, pisang, kacang, aneka sayuran, serta sengon.
Yang menggembirakan sekarang ini, lanjutnya, dengan diterbitkannya PP 11/2010 tentang Penertiban Tanah Telantar, maka tanah seluas 90 ha yang semula ditangani PT Tratak akan diredistribusikan kepada petani untuk menjadi hak milik. Sekarang ini, ada 400 Kk yang menggarap tanah itu.
Kemudian, petani yang tergabung dalam Omah Tani di Desa Simbang dan Desa Kebumen, Kecamatan Tulis, juga mendapatkan redistribusi tanah seluas 32 ha dari PT Ambarawa Maju untuk 800 KK. Tanah yang diberikan pada petani itu kini sudah disertifikatkan dan menjadi hak milik.
Menurut Handoko, ada 13 konflik tanah yang ditangani petani di Batang tersebet.
Kegiatan intern organisasi, kata Handoko, adalah dilakukannya pertemuan setiap Selasa Kliwon. Setiap anggota iuran Rp 2000 sebagai dana sosial untuk membantu anggota jika ada yang meninggal. Bagi anggota yang meninggal akan mendapatkan bantuan Rp 150 ribu dan beras 20 kg. “Itu sudah berjalan sejak 12 tahun lalu,” katanya.
Nama Media : SUARA MERDEKA
Tanggal : Minggu, 27 Februari 2011/h. 16
Penulis : Trias Purwadi