finance.detik.com-Sorong -Perum Perhutani telah membangun pabrik sagu modern dan terbesar di Indonesia senilai Rp 112 miliar yang berlokasi di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat. Pabrik yang perencanaan pembangunannya dimulai pada 2012 itu, akan diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) besok, 1 Januari 2016.
Ada berbagai cerita menarik dibalik upaya Perum Perhutani membangun pabrik sagu di pedalaman Kabupaten Sorong Selatan itu. Berbagai penolakan dan perlawanan dari masyarakat sekitar sempat terjadi. Belum lagi, lokasi pabrik berada di pedalaman Papua Barat yang terisolir dan tak ada akses jalan serta kepungan hewan liar seperti buaya.
Berkaca pada situasi tersebut, Perhutani yang telah menerima penugasan di sektor pangan pada 29 Februari 2012 oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, tak langsung buru-buru melakukan pembangunan fisik. Perhutani bersama tim melakukan pendekatan secara intens berkali-kali selama 2 tahun, setelah itu baru proses konstruksi. Tujuannya ialah membangun pondasi sosial di masyarakat.
“Kita lakukan pendekatan ke semua elemen di Kais selama 2 tahun. Kita ingin bangun pondasi sosial yang kokoh sehingga semua (warga lokal) di sini jaga karena mereka (penduduk lokal) punya rasa memiliki terhadap pabrik,” kata General Manager Perhutani, Papua, Ronald Guido Suitela di Pabrik Sagu Perhutani, Kais, Sorong Selatan, Kamis (31/12/2015).
Ronald sendiri terlibat dari proses survei pendahuluan hingga pabrik rampung dan siap diresmikan Presiden Jokowi. Saat survei, Ronald dan tim melakukan pemetaan kondisi di Kais, termasuk situasi sosial.
Tim Perhutani berkali-kali melakukan dialog dan mendengarkan masukan warga. Alhasil, perencanaan dan pendirian pabrik sagu yang mampu memproduksi 30.000 ton tepung sagu per tahun ini juga mengakomodasi ide dan kebutuhan warga.
“Terakhir, kita kokohkan bangunan sosial itu bernama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Mereka strukturnya berasal dari penduduk lokal. Bahkan, LMDH dilantik oleh Bupati Sorong Selatan disamakan dengan Kepala UPT dan Kepala Dinas. Setelah dilantik, kita bawa ke Lampung dan Pangalengan untuk dilatih,” tambahnya.
LMDH yang diketuai oleh mantan kepala kampung di Kais ini, selanjutnya menjadi wadah komunikasi antara Perum Perhutani sebagai pemilik pabrik dan warga lokal. Komunikasi dibuat satu pintu. Selain itu, penentuan karyawan lokal yang bekerja di pabrik hingga harga sagu yang bakal dijual di pabrik juga dibahas antara warga dan LMDH.
“Kita nggak layani orang per orang. Kita layani LMDH,” ujarnya.
Ronald mengatakan pendekatan ke warga tidak berjalan mulus. Ia mengaku saya dihadang warga yang membawa tombak, parang, dan panah saat melakukan pendekatan.
“Saya pernah dihadang pakai parang, tombak, panah. Saya awalnya diadili tapi setelah berproses saya malah dipuja-puja warga,” kelakarnya.
Bukan hanya mengajak warga berdialog, pendekatan juga dilakukan dengan berbaur. Ronald mengaku harus berbicara, makan, berperilaku layaknya penduduk lokal agar bisa diterima masyarakat. Apalagi ia berpegangan ke niat baik. Baginya, pendekatan dengan penduduk Papua lebih mengutamakan hati.
“Bangun Papua harus pakai hati bukan otak. Kita hari ini bisa akali orang Papua tapi besok. Kita akan diakali bahkan diganggu,” jelasnya.
Setelah persoalan sosial bisa ditangani, proses pembangunan atau konstruksi baru dimulai pada awal 2014. Selama konstruksi, komunikasi antara Perhutani dan warga terus dijalin melalui fasilitas LMDH. Alhasil, proyek pembangunan pabrik dilindungi warga lokal dan tak pernah ada boikot dengan jalan pemalangan.
Proses konstruksi juga melibatkan puluhan tenaga kerja lokal. Akhirnya, proyek ini bisa tuntas 31 Desember 2015. Pabrik sagu mulai beroperasi menggiling batang sagu ukuran 1 meter (tual). Kapasitas terpasang pabrik mampu mengolah 6.000 tual dan menghasilkan 100 ton tepung sagu kering.
Saat pabrik mulai beroperasi, penduduk lokal bisa menjadi pekerja hingga pemasok tual sagu (batang sagu ukuran 1 meter). Ronald menjelaskan, penduduk bisa tebang 1 pohon selama 1 hari. 1 pohon bisa hasilkan 10-12 tual.
“Katakanlah 1 tual dihargai Rp 10.000 (harga tual dan hak ulayat) maka dia bisa terima Rp 120.000 per hari. Bagaimana bila dalam 1 keluarga ada 3 orang yang produktif. Dia juga bisa berternak babi dengan memanfaatkan pakan dari limbah sagu, kemudian bisa usaha madu hutan di sekitar pabrik. Mereka juga bisa pagi kerja setelah itu cari sagu,” tutur Ronald
 
Sumber : finance.detik.com
Tanggal : 31 Desember 2015