Kawasan Puncak, Bogor, dan maraknya vila sudah seperti dua hal tidak terpisahkan. Namun, maraknya pembangunan vila, yang setidaknya sudah dimulai pada 80-an, telah menjadi bumerang. Vila-vila yang sudah merambah sampai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ini salah satu yang menyebabkan banjir di Jakarta.
Sebetulnya, konsep wisata di Puncak tidak mesti tergantung dengan hunian vila. Menikmati kawasan dengan ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut ini bisa tanpa merusak alam. Itulah yang terlihat di kawasan rekreasi Kampoeng Awan. Terletak di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, lahan 3,5 hektare itu seperti hutan mini. Yang menjulang di sana bukan bangunan kokoh, melainkan pohon mahoni, damar, pinus, cemara, sungkai atau jati sumatra hingga karet afrika. Dengan jumlah mencapai ribuan.
Pengunjung diajak menyesapinya lewat permainan-permainan luar ruangan seperti outbound. Bangunan yang ada hanya mengambil sekitar 2% dari total lahan. “Jadi memang soal lingkungannya, usaha wisata itu belakangan mengikuti,” ujar Yusnah Chairani, pemilik Kampoeng Awan. Bersama sang suami, Hisbullah, sejak 2008, Yusnah mencoba menjalankan konsep wisata alam ini.
Lahan kritis Yusnah yang ditemui di Kampoeng Awan, Minggu (22/5), menuturkan pada awalnya areal itu merupakan kebun singkong yang sudah kritis. Cita-cita untuk hidup lebih dekat dengan alam membuat pasangan suami-istri ini memutuskan membeli tanah tersebut dari warga pada 2001.
“Cita-citanya ingin punya hutan,” kata Yusnah sembari menyebut masa kecil kehidupan suami di Pariaman, Sumatra Barat, yang dekat dengan alam. Dengan cita-cita membuat hutan mini, pohon keras menjadi tanaman pilihan mereka. Namun, kondisi keuangan yang terbatas membuat penanaman bibit dicicil sedikit demi sedikit. Terlebih, bibit-bibit tanaman pohon keras memang cukup mahal.
Contohnya, bibit mahoni yang mencapai Rp25 ribu hingga Rp50 ribu. Sementara itu, pohon karet afrika harga bibitnya bisa mencapai Rp300 ribu per bibit. Tiap akhir pekan, Yusnah yang tinggal di Jakarta, pergi ke Puncak untuk menanam pohon. Dengan makin luasnya lahan, jumlah pohon yang ditanami pun terus bertambah.
Proses penanaman memperhatikan lingkungan dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia. Untuk mengatasi risiko longsor di lahan miring, Yusnah tidak membuat dinding batu, tapi menggunakan tanaman akar wangi yang terkenal memiliki perakaran kuat.
Yusnah mendata ada sekitar 5.000 pohon dari 100 jenis tumbuhan sudah tumbuh subur di sini. Dengan banyaknya pepohonan mata air yang sebelumnya kering, kini pun mulai mengalir lagi. Konsep wisata sendiri baru datang belakangan, tepatnya pada 2008, setelah salah seorang tamu mereka menyarankan hal itu. “Saat kami sedang duduk-duduk di tenda bersama keluarga ada awan putih, tiba-tiba mendatangi kami. Dari situ tercetus ide untuk menamakan lokasi ini Kampung Awan,” ujarnya.
Untuk menunjang sebagai kawasan wisata alam, mereka pun membangun sebuah aula seluas 20×8 meter persegi, guna tempat kumpul dan tidur tamu. Masyarakat mengawasi Keberadaan Kampoeng Awan ini juga disyukuri warga Desa Megamendung. Sanip, Sekretaris Desa Megamendung, mengatakan tempat rekreasi ini ikut menambah penghasilan warga baik sebagai karyawan langsung maupun mendatangkan pembeli baru ke warung mereka.
Saat ini ada sekitar 12 warga lokal yang bekerja di hutan mini tersebut. “Mata pencaharian warga sini kan sebetulnya bukan kebun saja, melainkan juga jualan, jadi kalau ada orang yang membangun seperti ini (Kampoeng Alam) kami setuju. Kalau vila kan hanya untuk sendiri,” ujar Sanip dalam kesempatan berbeda. Meski begitu, pria yang juga aktif di Lembaga Masyarakat Pedesaan (LMP) Megamendung mengatakan warga tetap mengawasi kesesuaian tempat rekreasi itu dengan kondisi alam. “Selama tidak mengubah struktur alam dan mendukung lingkungan, tidak apa,” ujarnya.
Wilayah Megamendung memang termasuk wilayah yang menjadi tempat penertiban vila. Sanip mengatakan karena dinilai tidak mengganggu lingkungan, kawasan tersebut tidak dalam sasaran penertiban yang dilakukan pemda setempat beberapa waktu lalu. Namun perangkat desa, dikatakannya, terus mengawasi perkembangan area itu.
Yusnah sendiri berjanji meski telah menjadi kawasan rekreasi, tekad penghijauan tetap yang utama. Mereka pun kini sudah mulai menyemai pohon sungkai atau jati sumatra. Sebanyak 2.000 pohon telah disemai sendiri. Kampoeng Awan juga diberi kepercayaan untuk mengelola dan menanam pohon-pohon di hutan milik Perhutani seluas 30 hektare yang letaknya berdekatan. (Big/M-1)
Nama Media : MEDIA INDONESIA
Tanggal : Minggu, 29 Mei 2011/h. 7
Penulis : Siska Nurifah
TONE : NETRAL