INVESTOR.ID (14/06/2021) | Implementasi penambahan biomassa hutan untuk pencampuran sumber energi (co-firing) pada pembangkitan listrik pada PLTU bisa berdampak positif pada pengelolaan hutan lestari dan penurunan emisi rumah kaca untuk pengendalian perubahan iklim.

Kebijakan pemerintah yang secara bertahap menuju energi baru dan terbarukan menjadi pendorong implementasi co-firing, dukungan juga diperlukan agar harga biomassa hutan bisa kompetitif di tingkat produsen dan PLTU.

“Indonesia mempunyai potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber energi baru dan terbarukan dan sejumlah kebijakan telah dibuat yang bertujuan mendorong tumbuhnya hutan energi. Dengan Undang Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, terdapat kemudahan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk menerapkan multiusaha kehutanan termasuk mengembangkan hutan energi,” kata Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono dalam siaran persnya yang diterima Investor Daily, di Jakarta, Senin (14/6).

Direktur Usaha Hutan Produksi KLHK, Istanto mengatakan saat ini terdapat 567 izin usaha pemanfaatan hutan dengan luas 30,5 juta hektar dan tidak semua izin tersebut aktif beroperasi. “Kebijakan multiusaha kehutanan bisa menjadi insentif bagi pemegang izin untuk mengoperasikan konsesinya, mereka bisa menanam berbagai jenis tanaman yang potensial sebagai penghasil energi berbasis biomassa, jenis tanaman tersebut misalnya kaliandra, gamal, akasia dan lamtoro.,” kata Istanto.

KLHK sebenarnya sudah mengalokasikan 142.172 hektar untuk hutan energi yang melibatkan 31 unit hutan tanaman industri dan perum perhutani, pengembangan hutan energi bisa dipercepat karena kebijakan indonesia saat ini adalah beralih ke energi baru dan terbarukan.Co-firing biomassa dalam proses pembangkitan listrik di PLTU dapat mengurangi konsumsi batu bara dan menurunkan emisi gas rumah kaca.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo optimistis implementasi co-firing menjadi peluang untuk mendorong pengembangan hutan tanaman energi. Co-firing tidak hanya bersandar pada limbah tetapi harus didukung oleh feedstock berkelanjutan dari HTE. “ Kayu dalam bentuk woodchips masih masuk hitungan ekonomis sebagai co-firing,” ujar dia.

Berdasarkan hitungan Aphi, harga jual woodchips atau kayu serpih yang ekonomis berkisar antara Rp 666,000-Rp 995.000 per ton, di Jawa dengan dukungan infrastruktur yang baik maka harga keekonomian bisa tercapai. Di luar jawa dimana biaya produksi lebih tinggi maka harga keekonomian belum dicapai dengan harga pasokan yang diterapkan PLN saat ini yang mengacu pada harga batubara.

Ia mengusulkan pemerintah untuk memberikan insentif terkait harga keekonomian tersebut. Indonesia menargetkan untuk meningkatkan bauran Energi baru dan terbarukan dalam penyediaan energi sebesar 23% pada tahun 2025, dari target tersebut sudah tercapai sebesar 11% pada tahun 2020 lalu.

Selain itu dalam draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listik 2021-2030 yang masih dibahas penggunaan EBT juga akan ditingkatkan persentasenya hingga 48%. Koordinator Penyiapan Program Bioenergi Kementerian ESDM, Trois Dilliusendi mengatakan co-firing sangat pas untuk mendukung peningkatan penggunaan EBT karena tidak dibutuhkan investasi baru yang besar dan cukup memanfaatkan PLTU.

 

Sumber : investor.id

Tanggal : 14 Juni 2021