Kedamaian hutan di lereng Gunung Tangkuban Parahu pernah membuat Iwan Abdurrachman terpana. Salah satu pendiri Wanadri-perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung pertama di Indonesia-itu menggoreskan penanya, menguntai kata.
Goresan inilah yang kemudian menjadi lagu Melati dari Jayagiri. Lewat kelompok vokal Bimbo, gubahan Iwan pun melegenda.
Sampai kini, panorama Tangkuban Parahu masih memesona. Namun, riwayat pengelolaannya ternyata tidak seindah alamnya.
Tidak ada pengelola yang dipercaya hingga paripurna. Saat Salin penguasa, kebijakan pun berubah arah.
Karena itu, tidak banyak yang bisa diperbuat untuk gunung ini. Akses jalan masuk yang buruk, kesemrawutan pedagang kaki lima dan parkir adalah kondisi laten yang belum terpecahkan. Ada lagi tambahannya yakni minimnya papan informasi wisata dan pengelola yang kurang ramah.
Ini fakta, sekaligus indikasi betapa pemerintah telah mengabaikan potensi kawasan wisata ini.
Padahal, Tangkuban Parahu sudah puluhan tahun ditetapkan sebagai kawasan wisata. Penetapan itu adalah upaya untuk mengelola kawasan secara baik dan mendatangkan fulus.
Bermula dari September 1979, ketika SK Menteri Per-tanian No 528/Kpts/UM-IX menyatakan kawasan di hutan konservasi ini dibuka secara resmi sebagai lokasi wisata umum. Sejak saat itu, setiap pengunjung wajib membeli tiket masuk.
Setelah 11 tahun dikuasai Departemen Pertanian, Perum Perhutani mendapat tugas untuk mengelola Tangkuban Parahu.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Perhutani berupaya mengelola secara profesional. Pada 2002, perusahaan pelat merah ini membentuk anak perusahaan bernama PT Palawi yang secara khusus di daulat untuk mengurusi pariwisata alam.
Selain Tangkuban Parahu, Palawi juga membenahi kawasan wisata Baturaden di Jawa Tengah dan Cobanrondo di Jawa Timur.
Lima tahun berjalan. Saat MS Kaban dipercaya menjadi Menteri Kehutanan, ia menilai Palawi gagal. Lewat SK Menteri Kehutanan No 206/ Menhut-II/2007 tertanggal 22 Mei 2007, izin pengusahaan kawasan seluas 250,7 hektare itu dicabut.
Departemen Kehutanan, saat itu, memercayakan pengelolaan Tangkuban Parahu untuk sementara kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Sampai dua tahun kemudian, tidak banyak perubahan baik yang terjadi. Pedagang yang rese dan mengganggu masih jadi keluhan utama. Sarana dan prasarana lain juga tidak banyak berubah. Juni 2009 dibentuklah Konsorsium Peduli Tangkuban Parahu. Tujuannya, mengembalikan citra positif wisata alam ini.
Konsorsium dibentuk beranggotakan BBKSDA, Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Subang, asosiasi perjalanan wisata, pedagang, serta lembaga masyarakat hutan.
“Kami sepakat menggelar berbagai kegiatan untuk membenahi kawasan. Mulai dari pembinaan PKL, perbaikan akses jalan, serta sarana pendukung pariwisata lain,” ujar Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Wawan Irawan.
Belum sempat program berjalan, keluar SK.306/Menhut-11/2009, 29 Mei 2009. Menteri Kehutanan memberikan izin pengusahaan pariwisata alam kepada PT Graha Rani Putra Persada.
“Untuk pembangunan infrastruktur kawasan wisata, kita tidak bisa mengandalkan dana pemerintah. Karena itu, kita mendatangkan pengembang swasta yang secara modal dan kapasitas cukup mampu,” tutur MS Kaban, saat itu.
Entah kebetulan atau sebab lain, bos PT Graha Rani ini adalah Putra Kaban.
Nama Media : MEDIA INDONESIA
Tanggal : Rabu, 16 Februari 2011/h. 23