fgd0MOJOKERTO – Perum Perhutani KPH Mojokerto bersama Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mojokerto, Dinas Pertanian dan Kehutanan Lamongan, Polres Lamongan, Polresta Mojokerto dan jajaran terkait menggelar Focus Group Discussion (FGD) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Republik Indonesia Nomor: P.30/Menhut-II/2012 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak di Aula Perhutani Mojokerto, 5 Juni belum lama ini. FGD yang diikuti oleh 60 orang peserta dari unsur Kapolsek, Asper/KBKPH, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Lamongan, perwakilan Adm se-rayon III Unit II Jawa Timur dan dibuka secara resmi oleh Administratur Mojokerto, Widhi Tjahjanto.

Kadistanhut. Lamongan, Ir. Aris Setiadi dalam paparannya ; Permenhut ini mengatur kegiatan yang meliputi pemanenan atau penebangan pada  hutan yang berada pada tanah/lahan masyarakat yang telah dibebani hak atas tanah di luar kawasan hutan negara, dibuktikan  dengan alas titel berupa Sertifikat Hak Milik, Letter C atau Girik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, atau dokumen penguasaan/pemilikan lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).fgd2

Peraturan ini juga mengatur kegiatan pengukuran dan penetapan jenis, pengangkutan/peredaran dan pengumpulan, pengolahan dan pelaporan atas hasil hutan yang berasal dari hutan hak berupa kayu yang berasal dari tanaman yang tumbuh dari hasil budidaya di atas areal hutan hak atau lahan masyarakat.

Selain itu, Permen ini juga mengatur tentang Nota Angkutan, yaitu dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan hak (kayu bulat atau kayu olahan rakyat) sesuai dengan jenis kayu yang ditetapkan atau pengangkutan lanjutan semua jenis kayu.

Setelah Permen ini diberlakukan mulai 20 Agustus 2012, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

fgd6Sedangkan Kasubsi Kepatuhan Seksi Hukum Unit II Jawa Timur,   Oktavano Scorpia Verdianto dalam kesempatan tersebut  mengupas dan mengadakan telaah normatif atas Permenhut P.30/Menhut-II/2012 terhadap UU 41 Tahun 1999 dan UU 5 Tahun 1960 (UUPA). Beberapa ketentuan yang perlu dicermati dalam Permenhut P.30/Menhut-II/2012 ; Pasal 1 angka 2 “Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah/lahan masyarakat yang telah dibebani hak atas tanah di luar kawasan hutan Negara, dibuktikan dengan alas title berupa sertifikat Hak Milik, Letter C atau Girik, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atau dokumen penguasaan/pemilikan lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)”.

Letter C dan Girik bukanlah bukti kepemilikan hak atas tanah. Istilah hutan Hak diatur di dalam UU 41 Tahun 1999 yaitu pada Pasal 1 angka 5 : “Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah”. Kemudian dalam penjelasan umum, “Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah menurut ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.” Menurut Putusan Mahkamah Agung RI No. 34/K/Sip/1960, tanggal 19 Februari 1960 yang menyatakan bahwa surat petok / girik (bukti penerimaan PBB) bukan tanda bukti hak atas tanah.

fgd3Menurut Okta; Tumpang tindih bentuk pelanggaran dan sanksi yang diatur dalam Permenhut P.30/Menhut-II/2012 dengan UU 41 Tahun 1999, menunjukkan tidak sinkron antara peraturan yang di atas dengan peraturan di bawah (conflict norm). “Maka berdasarkan asas Lex Superior Derogat Legi Inferior, peraturan yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, digunakan peraturan yang lebih tinggi dalam penerapan hukumnya”, tegas Okta.

Hasil dari FGD tersebut berupa Konsep Strategis yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman yang ditanda tangani oleh Para Pihak yang hadir.  Dimana pada dasarnya Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak beserta penanganan permasalahan dan perkara tindak pidana dibidang kehutanan tetap mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal selanjutnya untuk mengatur dan sinkronisasi pelaksanaan teknis di lapangan terkait Permenhut nomor P.30/Menhut-II/2012 akan ditindaklanjuti pembahasan antar pihak terkait dengan merujuk Resume FGD yang telah dilaksanakan.

 (Eko Eswe/Humas Mojokerto)