RAKYATMURIA.COM, KUDUS (14/5) | Harta karun yang terpendam di Pegunungan Muria. Mungkin ini sebutan itu pantas untuk kopi Muria khas Kudus yang menempati 452 hektare hamparan kebun kopi di lereng Pegunungan Muria dan mampu bersaing di pasar global.
“ Lahan seluas 452 hektare itu berada di Desa Colo, Lau, dan Japan Kecamatan Dawe. Mayoritas lahan kopi itu ditanami bibit jenis robusta, namun ada juga jenis arabica. Tiap satu hektare lahan tahun ini mampu menghasilkan kopi dengan kisaran 1,5- 2 ton,” ucap Shofil Fuad Pranyoto, ketua Kelompok Sadar Wisata ( Pokdarwis) desa Colo.
Menurut Shofil, sejarah kopi dari Muria sangat panjang, diawali tahun 1825 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Graaf Van Den Bosch menerapkan peraturan tanam paksa di seluruh Jawa. Tahun 1860 ia membagi seluruh hutan di Pulau Jawa dalam 13 daerah hutan. Tahun 1910 pemerintah kolonial menghapuskan program tanam paksa berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Ned Indie di Bogor Nomor 34 tanggal 24  Juni 1916 dan  menetapkan bagian hutan di lereng Muria sebagai kawasan hutan.
Menurut Shofil, sejarah kopi dari Muria sangat panjang, diawali tahun 1825 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Graaf Van Den Bosch menerapkan peraturan tanam paksa di seluruh Jawa. Tahun 1860 ia membagi seluruh hutan di Pulau Jawa dalam 13 daerah hutan. Tahun 1910 pemerintah kolonial menghapuskan program tanam paksa berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Ned Indie di Bogor Nomor 34 tanggal 24  Juni 1916 dan  menetapkan bagian hutan di lereng Muria sebagai kawasan hutan.
Setelah terbit keputusan tersebut, mulai 1920 tiap petani yang memiliki lahan kopi di tanah negara diberi hak memungut hasil selama 5 tahun, yang dikenal dengan Koffie Met Plukrecht (KMP). Dalam catatan Perhutani Pati, tahun 1925 KMP seharusnya dihapus, namun faktanya di Colo dan Japan masih ada.
“Bahkan mulai 1942 lahan tanaman kopi makin luas sehingga muncul sengketa tanah hutan di dua desa itu, tepatnya di petak 46,47, 48 dan 50. Pada era kemerdekaan, tahun 1972 terbit surat keputusan Gubernur Jateng Nomor G297/1972.32/82/3 untuk menetapkan fungsi baru kawasan itu,” ungkapnya.
Keputusan Gubernur menyebutkan hutan di Colo dan Japan berfungsi sebagai hutan lindung. Penggarap lahan kopi setelah 10 tahun terhitung sejak SK itu diberlakukan harus meninggalkan hutan. Selama 10 tahun warga dilarang mengubah, merusak hidrologi, dan tanah di hutan lindung. Pengelolaan oleh penggarap mendasarkan sistem bagi hasil.
Pada era kolonial, tanaman kopi terlindung oleh pohon pandan gunung, pohon mranak, dan vegetasi hutan lindung. Pada masa itu tanaman kopi sudah menjadi napas kehidupan warga Colo dan desa sekitarnya. Pemerintah Belanda mewajibkan petani membagi hasil panen kopi melalui pola centhakan sebagai upeti untuk Kompeni, yakni Kongsi Perdagangan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC).  (SF)
Tanggal  : 14 Mei 2016
Sumber  : rakyatmuria.com