Rembang: Kasmin (50) warga Dukuh Tuder, Desa Wonokerto, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang adalah salah seorang pesanggem: mereka yang menggantungkan hidupnya dengan mengarap lahan hutan. Saat ditemui di lahan yang digarapnya belum lama ini, ia bersama Istri dan sejumlah petani lainya tengah membersihkan  atau merawat tanaman padi gogo dan jagung di lahan garapannya.

Di petak 97 RPH Tuder, dengan luas sekitar 14 hektare itu ada sekitar 50 pesanggem yang menggarap lahan hutan Perhutani Kebonharjo, rata-rata setiap pesanggem mendapat lahan garapan seluas 0,25 hektare. Dengan luas itu bisa mendapatkan hasil panen sekitar 24 sak gabah, kata Kasmin.

Bapak petani pesanggem itu mengaku, sangat berterima kasih pada Perhutani, kami menggarap lahan hutan sudah cukup lama dilakukan yaitu semenjak dia masih ikut orang tua dulu. Sebelumnya, menjadi petani penggarap lahan hutan (pesanggem red) ini harus mau berpindah-pindah “Disesuaikan dengan lahan mana yang telah selesai dilaksanakan tebangan,” ujarnya.

Menurutnya, petani pesanggem menggarap lahan secara perorangan. Jangka waktunya rata-rata selama dua tahun. Setelah dua tahun dan tanaman jatinya sudah agak tinggi mereka harus pindah kelahan yang baru. Selama menggarap lahan hutan yang dinamakan persil tersebut, menurut Kasmin dan para petani penggarap lainya tidak dipungut biaya sewa atau bagi hasil tanaman. Hanya, sebelum menggarap di lahan bekas tebangan, harus membuka lahan dan membersihkan sendiri serta tidak boleh dengan cara di bakar. Jadi semua serasah dan rumput harus ditimbun, dapat menjadi humus dan tanah tetap subur.

Untuk penggunaan obat pertanian, tidak boleh menggunakan obat yang dilarang digunakan oleh Perhutani, yaitu bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti Decis, Foradan dan bahan kimia yang berbahya lainnya. Selain itu, petani juga harus membantu merawat tanaman jati yang ditanam Perhutani.” Ya kami harus merawat tanaman jatinya, dan bila terjadi kebakaran hutan, kami juga siap memadamkan api” kata pesanggem lainya.

Kasmin mengaku, padi gogo yang ditanam itu beberapa hari yang lalu sempat terserang hama sundep, cara mengatasi dan memberantas hama sundep, Kasmin membuat obat organik yaitu dengan umbi gadung diparut dan diperas diambil airnya dan dicampur dengan air daun mimbo, lalu disemprotkan, ternyata hasilnya cukup memuaskan dengan biaya yang murah, katanya.

Kami selalu mendapat penyuluhan dari petugas Perhutani untuk menggunakan obat organik, karena pengelolaan hutan harus ramah lingkungan. Dan kalau kami para pesanggem masih menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) musuh alami hama itu juga ikut mati dan hama tanaman makin merajalela, tambahnya.

Petani lainnya menambahkan, kami juga melarang perburuan liar, bila ada orang membawa senapan angin harus kami larang, dikarenakan kalau semua burung diburu dan dibunuh maka pemangsa hama tidak ada lagi. Diwilayah Perhutani Kebonharjo dilarang segala bentuk perburuan liar dan penggebalaan liar, katanya.

Humas KPH Kebonharjo, Djono mengatakan, “Para pesanggem itu sering mendapatkan penyuluhan dari petugas atau mandor pendamping bagaimanan cara mengelola hutan yang ramah lingkungan, tidak diperbolehkan menggunakan obat yang berbahaya atau pestisida, cara penanganan limbah anorganik seperti polibeg atau bekas botol dari plastik juga harus dibuang di tempat pembuangan akir (TPA).

Larangan perburuan liar, penggebalaan liar juga sudah terpampang dis ejumlah titik di hutan KPH Kebonharjo. Itu semua sudah menjadi setandar prosedur bagi KPH yang sudah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari (PHL) tingkat Inrternasional. Diakui tugas dan tanggung jawab untuk mempertahankan sertifikat itu cukup berat karena harus memenuhi kriteria yang disaratkan, monitoring dan evaluasi terus dilakukan untuk meningkatkan prestasi KPH Kebonharjo untuk menjadi KPH mandiri, karena Kebonharjo sampai saat ini adalah KPH Plus.  (Hms KBH)