Kontan, Jakarta – Sagu bukan lagi sekadar bahan pangan warga Papua. Komoditas lokal ini memiliki prospek bisnis yang menggiurkan. Sayang, pengelolaan sagu belum maksimal dan masih banyak digarap dalam skala kecil. Tapi kini, sejumlah perusahaan swasta besar mulai melirik potensi sagu.

Selain sebagai bahan tepung, sagu dapat dimanfaatkan sebagai lem kayu lapis dan bioetanol. Banyaknya manfaat yang dimiliki sagu membuat komoditas lokal ini memiliki nilai ekonomis tinggi. Sayang, sampai saat ini, perkebunan sagu masih digarap secara sederhana oleh masyarakat dan belum dikerjakan dalam skala industri.

“Sampai saat ini perusahaan yang berminat ke sektor sagu masih sedikit,” kata Bayu Khrisnamurti, Wakil Menteri Perdagangan. Di antara segelintir peminat di bisnis sagu, di antara adalah PT Austindo Nusantara Jaya Tbk dan PT Sampoerna Agro Tbk.

Dua perusahaan itu tampak serius menggarap kebun sagu. terbaru, Perum Perhutani juga berencana membangun pabrik pengolahan sagu di Sorong, Papua. PT Sampoerna Agro memiliki konsesi lahan sagu seluas 21.000 hektare (ha) di Meranti, Riau. Dari luas lahan itu, Sampoerna Agro hanya memanfaatkan kebun sagu seluas 14.700 ha atau sekitar 70%.

Tahun ini, Sampoerna Agro akan melakukan penanaman baru sagu di atas lahan 1.600 ha. Alhasil, dengan tambahan tanaman baru tersebut, luas lahan tertanam SGRO akan mendekati 10.000 ha. PT Austindo Nusantara Jaya sudah memiliki konsesi lahan sagu di Papua seluas 40.000 ha.

Perusahaan ini membangun pabrik tepung sagu dengan kapasitas 3.000 ton per bulan. Nantinya, produksi sagu ini akan diolah menjadi tiga jenis produk yakni tepung, kue kering, dan bihun. Selain pasar domestik, produk hilir sagu milik Austindo juga akan dikirim ke China dan Jepang.

Mengikuti Austindo, Perum Perhutani berencana membangun pabrik tepung sagu di Sorong Papua. “Diharapkan sudah bisa mulai membangun tahun depan,” ujar Bambang Sukmananto, Direktur Utama Perhutani. Pabrik tepung sagu milik Perhutani memiliki kapasitas 30.000 ton setahun.

Untuk membangun pabrik ini, Perhutani harus merogoh koceknya sedalam Rp 150 miliar. Untuk pasokan bahan bakunya, Perhutani bakal memanfaatkan sagu alam dari luas konsesi pemanfaatan hutan alam non kayu seluas 17.000 ha. Sedikitnya pemain di sektor sagu ini, kata Bambang, merupakan kesempatan emas bagi pioner bisnis ini. “Persaingan masih sedikit sehingga nilai keekonomiannya besar,” kata Bambang.

Meski tak mematok target keuntungan, Perhutani mengharapkan margin dari hasil jual sagu ini sedikitnya 20%. “Di Papua, sagu dijual di kisaran Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram (kg) sedangkan biaya produksinya hanya separuhnya,” ungkap Bambang. Setelah menggarap bisnis tepung sagu , Perhutani berniat membangun pabrik bioetanol berbasis sagu di Papua.

Selain Riau, wilayah lain yang bisa dikembangkan untuk tanaman sagu adalah Papua. Bambang Darmono, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mengatakan, wilayah Papua memiliki potensi kebun sagu seluas 3,2 juta ha. Namun, sejauh ini baru sekitar 0,34% lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman sagu.

Jurnalis : Handoyo
Kontan | 16 Desember 2013 | Hal. 17