BERITAGAR.ID, JABAR (5/6/2016) | Tanaman kopi jadi solusi agar kondisi hutan lindung tetap terjaga, sambil menghidupkan peluang masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Pemandangan sawah di kaki Gunung Puntang terhampar rapi. Matahari bersinar dengan terik. Terlihat hamparan padi yang menguning di Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Dari kejauhan jalan aspal menuju arah kawasan Gunung Puntang tampak berkelok-kelok dan menanjak.

Gunung ini pada zaman penjajahan Belanda dikenal karena pemancar radio yang fenomenal. Namanya Stasiun Pemancar Radio Malabar. Dirintis oleh Dr. de Groot pada 1923, pemancar radio ini memiliki antena pemancar sinyal dengan panjang 2 kilometer, membentang di antara Gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian 500 meter dari dasar lembah.

Kawasan itu terkenal pula sebagai salah satu obyek wisata di Bandung Selatan, selain Ciwidey atau Pangalengan. Objek wisata yang menyajikan wanawisata alami ini, berada di komplek Gunung Malabar, dengan ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut, dengan suhu berkisar antara 18o – 23o C .

Di sekitar aliran air yang mengairi sawah penduduk, tampak seorang pria mengenakan ikat Sunda di kepalanya. Ia sedang mencabuti rumput liar. Pria itu, Ayi Sutedja, 51 tahun. Sementara ia mencangkul dan memotong rumput, beberapa pekerja bangunan sedang memasang atap gudang.

“Dari malam saya berencana bersihin (membersihkan) aliran air. Jalan ini kan dipakai untuk penduduk juga,” ujar Ayi kepada kontributor Beritagar.id, Rabu (1/6/2016) siang. Menurut Ayi, area seluas 120 tumbak tersebut nantinya akan dibangun tempat pengolahan kopi.

Setelah menanggalkan perkakas berkebun, Ayi bergegas memperlihatkan sebuah kolam. Luasnya kurang lebih 3 meter persegi. Kolam itu hanya menampung air, dan tampak belum digunakan. Rupanya ini adalah bakal tempat pengolah limbah kopi.

“Siap-siap kalau ada limbah, soalnya saya usahakan nggak ada limbah. Kulit kopinya sudah langsung saya olah di sini,” kata Ayi merujuk pada tempat pengolahan pascapanen kopi yang digagasnya.

Bukan hanya mengolah limbah pascapanen, petani kopi yang bersahaja ini juga sedang melakukan riset terhadap teh Cascara. Teh unik, karena terbuat dari ceri buah kopi yang dikeringkan dengan sinar matahari.

Ayi mengatakan, teh Cascara bukan hal yang baru di dunia kopi. Dalam beberapa kesempatan pameran, ia turut membagikan teh yang istilahnya diambil dalam bahasa Spanyol, dan dalam bahasa Indonesia berarti “kulit”.

“Tahun kemarin kita sudah melakukan riset. Kita di sini tidak melakukan fermentasi pada bagian kulit kopinya langsung dilepas dan dijemur. Saya bagikan waktu ikut pameran di Jakarta Expo dan banyak yang minat,” jelasnya.

Riset pertama yang dilakukan bisa menghasilkan tiga kilogram teh Cascara. Selanjutnya, setiap pembeli kopi diselipkan teh Cascara sebagai bonus. Diakui Ayi, teh Cascara sudah banyak ditemukan di gerai kopi. Hanya saja pihak yang mengembangkan masih sedikit.

Ketua kelompok tani Murbeng Puntang ini lalu menerangkan, sangat penting bagi petani kopi untuk menaikkan nilai tukar dalam produksi pascapanen. Seiring jam kerja bertambah, lanjut Ayi, pendapatan petani akan meningkat lebih banyak.

Nama Ayi dan kopi Gunung Puntang melejit setelah tampil dalam pameran Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016 yang digelar di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Transaksi kopi Indonesia berkat ajang yang berlangsung pada April 2016 lalu, mencapai USD35 juta atau setara dengan 392 kontainer.

Siapa sangka, dalam lelang kopi di ajang itu, kopi Gunung Puntang besutan Ayi terjual dengan harga tertinggi, USD55 per kilogram, atau Rp750.000 per kilogram. Sebuah rekor baru dalam lelang kopi Indonesia. Kopi pun melekat di depan nama kawasan tersebut.

Awalnya, Ayi dan para petani lain mendirikan kelompok Tunas Murbeng Puntang. Kemudian ia dan tujuh rekannya yang ingin fokus dalam manajemen produk kopi mendirikan koperasi Murbeng Puntang. Tujuannya untuk menciptakan produk olahan kopi yang berkualitas dan disukai pasar.

Kelompok ini membudidayakan kopi dengan kepadatan populasi 1.000 batang pohon per ha. Sedangkan lahan yang digunakan lima hektare.

“Sekarang saya fokus saja dengan yang lima hektare ini. Permintaan memang banyak sekali tapi saya tidak bertujuan meningkatkan produksi. Kalaupun permintaan banyak saya minta bantuan rekan-rekan di sini yang memperlakukan kopi seperti yang saya lakukan,” kata ayah empat anak ini.

Ayi khawatir bila memenuhi semua permintaan yang otomatis akan berdampak pada alam di sekitar hutan. “Kalau sampai pohon ditebang dengan mencari keuntungan semata berapa kerugiannya? Konsep di sini yaitu menjaga hutan sambil menanam kopi,” ujarnya.

Tepat pukul 12 siang Ayi mengajak Beritagar.id duduk di atas tumpukan kayu di salah satu sudut kebunnya sambil menatap ke arah Gunung Puntang. Cuaca saat itu cerah, langit biru membentang di atas puncak gunung.

Butuh lima tahun untuk membudidayakan kopi di kawasan Gunung Puntang. “Kawasan hutan lindung itu sebelumnya lebih banyak ditanami sayuran, sehingga rawan erosi dan longsor,” ujarnya sambil menatap bukit, menceritakan ihwal pergelutannya dengan tanaman kopi.

Aktivitas berkemah ke gunung sudah dilakukannya sejak 1985 silam. Kala itu ia aktif di kelompok pencinta alam Gideon yang berasal dari SMAN 1 Bandung. Pun semasa kuliah di IKIP Bandung (sekarang UPI – Universitas Pendidikan Indonesia), Ayi sudah akrab dengan Gunung Puntang. Menurutnya, pariwisata di kawasan itu ramai sejak 1990-an.

Ayi baru kembali ke Gunung Puntang pada awal 2011, setelah berhenti bekerja di PT Lampita, sebuah perusahaan kontraktor listrik berdomisili di Jakarta. Atas ajakan seorang karib, Ayi pun tergerak hatinya untuk menapaki kembali Gunung Puntang dan sekitarnya. Namun kali ini, bukan sekadar untuk menjelajah alam.

Saat kembali ke aktivitas pencinta alam itulah, Ayi mendapati kondisi kawasan sekitar gunung mengkhawatirkan. Alih-alih menanam tanaman keras–misalnya kopi–sebagian lahan berubah menjadi kebun sayur dalam wujud lahan terbuka. Ini yang menyebabkan tingginya risiko erosi dan longsor.

Berkaca dari temuan tersebut, Ayi pun mencari solusi agar kondisi hutan lindung tetap terjaga. Namun tetap menghidupkan peluang masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari pertanian.

Upaya itu membawanya bertemu dengan Eko Purnomowidi, tenaga ahli tentang kopi pada masa itu. Bersama Deni Glen dari Koperasi Sunda Hejo, penyalur Kopi Sunda Hejo yang merupakan salah satu kopi asal Sunda, menjadi titik mula budidaya kopi di Gunung Puntang.

Atas saran seorang warga lokal yang juga petani kopi bernama Mamat, Ayi pun melaksanakan pembudidayaan kopi. Sedangkan bibitnya berasal dari pemberian dari Eko dan Deni. Bersama Mamat budidaya kopi dilakukan agar petani tidak merambah ke hutan lindung.

Sambil memberi contoh pada masyarakat, ia pun semakin getol menggeluti tanaman kopi. Jenis kopinya Arabika varietas Tipika. Namun Ayi menyebut bibit kopi Sunda.

“Pak Eko menamakan bibit Sunda kemudian banyak orang bilang dari Tipika. Kita namakan Sunda karena ada kelainan dari Tipika, juga bibitnya lebih besar sudah seperti pohon kopi,” urai Ayi.

Sementara, lanjut Ayi, bibit pohon tersebut mulanya dari Gunung Guntur, Cikurai, dan Manglayang. Kemudian bibit ditebarkan di Garut, Pacet, Puntang, Pangalengan, dan Ciwidey. “Awalnya tidak tahu bahwa kopinya sehebat ini,” ucapnya.

Beruntung, Perhutani selaku pengelola hutan mendukung niat Ayi. Ia pun lantas membudidayakan kopi di area hutan seluas dua hektare dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Setelah membuat sejumlah lubang di sekitaran hutan, bibit kopi pun mulai disebar pada Juni 2011.

Ayi memang bukan satu-satunya petani kopi di Gunung Puntang. Di Desa Pasirmulya saja, kata Ayi, ada sekitar 300-400 petani. Tanaman kopi milik Ayi berada di hutan lindung yang termasuk kawasan wisata Gunung Puntang.

Di lokasi tersebut pun sekitar 30 petani terlibat menanam pohon kopi. Tiga belas orang di antaranya bekerja sama dengan Ayi. Sedangkan yang sudah bisa memproduksi kopi siap dipasarkan, baru ada tiga orang. Ayi salah satunya. Karena itulah Ayi mengaku ingin berkonsentrasi penuh menggarap kopi di Gunung Puntang.

Sejak tahun lalu, Ayi membuka harga kopi petik Rp5.000 per kilogram. Sedangkan pada 2011 harga kopi petik hanya Rp2.500 per kilogram. “Kalau mereka mau kupas sendiri kulit (kopi)-nya, saya kasih Rp1.500/kilogram. Jadi naik juga nilainya,” katanya lagi.

Selain itu, ia memperkenalkan cara petik buah merah pada masyarakat setempat. Menurutnya, untuk hasil yang terbaik harus disortir buah kopi yang berwarna merah.

Seiring berjalannya waktu, aksi Ayi menuai simpati dari masyarakat yang berusaha meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Meski begitu, usaha tersebut belum dirasa cukup oleh pria yang belajar otodidak tentang kopi ini.

Sebagian masyarakat hanya tahu menanam dan memetik, tanpa tahu proses selanjutnya karena tak ada modal usaha. Ia tak mengira bila kopi akan panjang urusannya.

“Saya sendiri awalnya mengira kopi itu urusannya hanya menanam saja. Ternyata tidak begitu karena ada proses selanjutnya,” selorohnya riang.

Untuk mengembangkan upaya pengolahan pascapanen tersebut, Ayi sampai-sampai harus merogoh kocek pribadi. Termasuk uang tabungan semasa ia bekerja sejak 2005-2011. Ia pun mendirikan Rumah Kopi Palalangon pada 2012.

“Untuk memotivasi masyarakat sini saya buka rumah kopi agar mereka punya jaminan bahwa kopinya ada yang membeli,” jelas suami dari Tati Rahmayati ini, memperkenalkan rumah kopi dimaksud.

Rumah kopi Palalangon juga menjadi tempat produksi dari gulkop alias gula dan kopi. Merek kopi cap Gedung Sate ini dilepas dari pabrik dengan harga Rp2.000. Gulkop terdiri dari 5 gram kopi dan 10 gram gula.

Kopi lainnya yang diproduksi rumah kopi ini adalah Kopi Wangi. Kopi bubuk ini dijual per ons dengan harga 60 ribu rupiah. Tanpa bahan pengawet. “Kebanyakan kopi di sini tidak masuk ke tengkulak. Semuanya diolah, kalau ada yang perlu beli biji kopinya ke sini. Kita sudah punya izin produknya,” jelas Ayi.

Usaha Ayi tak sia-sia. Bisnis lain turut bertumbuh seiring maraknya produksi kopi di kawasan itu. Sekitar 500 meter sebelum sampai ke kebun Ayi, tepat di sebelah kiri berdiri sebuah warung. Di warung ini, Ace (53), menjual gulkop.

Warung Ace memang tak ramai sore itu. Tempatnya pun kecil. Tapi, di warung ini Ace menyediakan kopi seduh kualitas premium. Harga secangkir kopi di warung Ace sangat murah. Cuma tiga ribu rupiah saja. Bonusnya, pemandangan sawah dan gunung yang terlihat dari jendela warung Ace saat terbuka lebar.

“Sudah satu setengah pak (18 bungkus) habis dua minggu. Cepat habis stoknya,” terangnya. Meski baru menjual produk gulkop, Ace menilai produk ini mulai digemari pengunjung yang datang ke warungnya. “Kalau tidak disebuh di sini, ada yang memang buat oleh-oleh (dibawa pulang),” imbuhnya.

Menggeliatnya produksi kopi dari Gunung Puntang tak hanya dirasakan Ace. Produk ini juga sudah masuk pada industri olahan kopi. Salah satunya dirasakan oleh industri rumahan Dikopian.

Cita rasa kopi yang dihasilkan dari Gunung Puntang menurut pemilik Dikopian, Ikbal Ramdhani (31) menjadi alasan dirinya membeli biji kopi dari Rumah Kopi Palalangon.

Bisnis kopi yang dilakoni Ikbal sejak tahun lalu itu kini mendatangkan keuntungan yang lumayan. “Di sini kopinya punya cita rasa yang khas. Ada sensasi herb, aroma floral, mint dan saya kira lengkap semuanya ada,” ujarnya.

Dikopian melakukan pengepakan kopi yang bahan bakunya dari Palalangon. Produk kopinya antara lain Java Priangan, Java Natural, dan Java Wangi. Untuk harga, kopi-kopi tersebut dibanderol Rp55.000 per 200 gram. “Pasarnya memang untuk menengah ke bawah, tapi kita juga tetap menjaga cita rasa,” kata pria yang mengaku kenal kopi sejak 2012 lalu.

Untuk mempromosikan produk kopi, Iqbal menggunakan media sosial. Bisnis ini menurutnya cukup ampuh untuk menarik minat konsumen. Ternyata pembelinya juga cukup antusias, terbukti dengan pembeli yang datang dari luar kota. Meski 70 persen di antaranya berasal dari Bandung, mulai banyak pesanan dari Probolinggo dan Surabaya.

Tak pernah terbayangkan dalam benak Ayi jika biji kopi yang ia hasilkan bisa terkenal sampai ke mancanegara. Mulanya, pria yang tak sempat menyelesaikan kuliahnya di IKIP Bandung ini mengenal pertanian organik dari seorang kenalannya, I Wayan Dirgayusa (50), seorang ahli ekologi dan pecinta lingkungan.

Dari situ Ayi belajar, sebelum menanam bibit kopi, perlu memastikan lahan yang digunakan cukup teduh dan rindang. Tak heran bila tanaman kopi di Gunung Puntang memiliki bantuan pohon peneduh. Pohon peneduh ini berfungsi melindungi bibit kopi jika sudah tumbuh besar dari sinar matahari langsung.

Adapun pupuknya berasal dari kotoran kambing. “Kita mempertimbangkan ekologi dan sosial budayanya,” katanya.

Lewat Wayan pula, Ayi kemudian mengenal Galih. Pada Oktober 2014, Galih menawarkan Ayi ikut seminar kopi di kantor kedutaan kerajaan Belanda di Jakarta. Ayi pun terpilih mengikuti seminar yang diikuti 13 orang–dari 350 orang yang diseleksi–mewakili petani kopi arabika.

Pada pertemuan kedua ia ikut serta menyepakati pembentukan forum kopi nasional dengan nama Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi).

Pendek cerita, Ayi mengikuti ajang kejuaraan cita rasa kopi Jakarta International Expo pada 2015. Kopi arabika milik Ayi dengan proses semi-washed mendapat skor 85,33. Kopinya pun menyabet juara pertama. Sedangkan kopi dengan proses full-washed mendapat skor 83,5, jadi juara kedua.

“Saya tidak menyangka (juara). Cuma mau tahu skor saya berapa tadinya,” ungkapnya. Setelah meraih prestasi tersebut, kopinya makin dikenal di kalangan masyarakat penggemar kopi.

Awal 2016 Kementerian Perdagangan menggandeng Caswells Coffee, sebuah kedai kopi yang menyandang sertifikat dari Specialty Coffee Association of America (SCAA). Dalam acara tahunan SCAA kali ini Indonesia terpilih sebagai Portrait Country, sebagai negara penghasil kopi ketiga di dunia (2012) menurut International Coffee Organization (ICO), setelah Brasil dan Vietnam.

Peluang menjalin kerja sama dengan 12 ribu profesional di bidang industri kopi dari berbagai negara pun terbuka lebar.

Kopi Gunung Puntang turut diseleksi untuk mengikuti pameran di Amerika Serikat pada April 2016 lalu. Dalam seleksi yang melibatkan 74 kopi asal Indonesia, menurut kurator kopi dari Caswells Coffee, kopi Gunung Puntang memiliki cupping score tertinggi dari 17 specialty coffee yang akhirnya diikutkan dalam pameran.

Kopi Gunung Puntang paling direkomendasikan dengan skor tertinggi 86,25.

Tes cupping adalah teknik mengenali dan membandingkan sejumlah karakter beberapa kopi. Lembaga seperti SCAA punya standar khusus dalam melakukan tes ini. Karena itu, tak semua pihak bisa mengeluarkan skor yang terpercaya. Caswells Coffee, adalah salah satu yang memiliki sertifikat resmi dari SCAA untuk melakukan kurasi kopi.

Dalam cupping, selain menghirup wangi kopi yang menguar dari bubuk kopi yang belum diseduh, juga setelah kopi diseduh. Gelas berisi 8,25 gram bubuk kopi diseduh dengan air 150 ml dua menit sebelumnya, kemudian didekatkan ke hidung. Ampasnya disibak ke pinggir dengan sendok, lalu aromanya dihirup.

Selain itu juga perlu menguji rasa kopi, termasuk tingkat keasaman kopi. Pada tahapan ini kopi diseruput hingga bunyi, dan kopi menyentuh langit-langit mulut serta tepian bawah lidah. Seduhan kopi dalam kondisi hangat, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Kopi juga dinilai berdasarkan kekentalannya.

Masing-masing aspek akan mendapat skor 6,00-6,75 bila dinilai Good; 7,00-7,75 bila dinilai Very Good; 8,00-8,75 bila dianggap Excellent; dan bisa mendapat skor 9,00-9,75 bila termasuk kategori Outstanding.

Sedangkan total penilaian dari seluruh aspek, kopi punya skor 90-100 untuk kategori Outstanding; 85-89,99 bila Excellent; 80-84,99 untuk Very Good; sedangkan yang mendapat skor di bawah 80,0 masuk kategori Below Specialty Quality alias bukan Specialty Coffee.

Semua kopi spesial, atau yang berlabel Specialty Coffee, hanyalah kopi yang mendapat skor 80-100. Adapun ketujuhbelas jenis kopi yang diikutsertakan dalam seleksi untuk eksebisi SCAA ini, sudah masuk kategori Specialty Coffee.

Selain kopi Gunung Puntang, kopi lainnya adalah Mekar Wangi, Manggarai, Malabar Honey, Atu Lintang, Toraja Sapan, Bluemoon Organic, Gayo Organic, Java Cibeber, Kopi Catur Washed, West Java Pasundan Honey, Arabica Toraja, Flores Golewa, Redelong, Preanger Weninggalih, Flores Ende, dan Java Temanggung.

Menurut atase Perdagangan Indonesia di Washington DC, Reza Pahlevi Chairul, dalam lelang kopi di ajang tersebut berhasil membukukan transaksi sebesar USD11.900 dolar atau berkisar Rp160 juta.

Kopi dari Gunung Puntang, menjadi kopi terbaik yang berhasil dijual dalam lelang, dimenangkan oleh Phil Goodlayson dari Corvus Coffee, Denver, AS. Harga jual tertingginya mencapai USD55 dolar per kilogram, atau Rp750.000 per kilogram.

“Ini adalah rekor terbaru lelang kopi Indonesia,” ujar Reza dalam rilis persnya ke media.

Menjadi kopi bergengsi di antara kopi dari daerah lain, tak membuat Ayi berharap muluk-muluk. “Begitu menerima penghargaan itu saya gugup. Padahal tidak ada resep rahasia. Saya jalankan prosedur yang sudah ada,” katanya. “Saya akan tetap melanjutkan apa yang ada saja,” imbuhnya saat ditanya soal rencananya pada masa depan.

Ayi senang saat ini banyak permintaan kopi dari dalam bahkan hingga luar negeri. Selain itu, anak dari Otong Somali mengaku kini lebih menyukai berbagi pengetahuan dengan para petani lain. Baik di kawasan Puntang maupun dari kawasan lainnya.

“Saya tidak berusaha mengajak seperti yang saya lakukan. Mereka tetap kelola sendiri, saya bantu cara mengembangkan dan membuat brand seperti apa,” pungkasnya. (Huyogo Simbolon)

Tanggal : 5 Juni 2016
Sumber  : beritagar.id