img7-1PIKIRAN RAKYAT (25/2/2017) | Kawasan kehutanan, perkebunan, dan Sungai Citarum di wilayah selatan Kecamatan Rajamandala diketahui menjadi salah satu “benteng” kelestarian alam kawasan Bandung bagian barat. Sosoknya yang tergolong terjaga keasriannya, juga memiliki keindahan alam yang “terpendam” tetapi termasuk sangat indah.

Keindahan alam kawasan Rajamandala juga sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda sampai menjelang pendudukan Jepang dari pecahnya Perang Dunia II 1942. Dari sejumlah catatan, sejak menjelang abad ke-20 sampai awal tahun 1940, kawasan Rajamandala menjadi tujuan orang-orang Eropa baik melakukan penelitian maupun menikmati keindahan alamnya.

Di antara daya tarik utama kawasan Rajamandala adalah keberadaan sejumlah air terjun atau orang Sunda menyebutnya curug. Berbagai curug tersebut diketahui pula umumnya berasal dari aliran Sungai Citarum yang juga terdapat Sanghyang Tikoro, Sanghyang Heuleut, dan sejumlah mata air lainnya yang berada di antara kawasan kehutanan dan perkebunan setempat.

Salah seorang Eropa yang terkagum dengan keindahan kawasan Rajamandala yang banyak terdapat curug-nya adalah Karl von Scherzer asal Austria. Dalam buku yang ditulisnya, Narrative of The Circumnauigation of the Globe by the Austrian Frigate volume 2 terbitan Cambridge University Press, New York, Amerika, terbitan tahun 1862 dan dicetak ulang tahun 2013, disebut-sebut, pada 22 dan 23 Mei 1859 mengunjungi lalu berkelana di Sanghyang Tikoro. Sebelumnya, ia mengunjungi Curug Baong yang juga berada di sekitar Citarum, kawasan Rajamandala diketahui banyak curug.

Keterkenalan banyaknya curug di kawasan Sungai Citarum, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Heuleut pernah menjadi daya tarik tinggi bagi wisatawan orang-orang Eropa pada zaman kolonial. Keterkenalan kawasan Rajamandala dengan banyaknya curug di sekitarnya dicantumkan pada buku panduan wisata berjudul Bandoeng. Mountain City of Netherlands India yang disusun SA Re-itsma, diterbitkan G Kolf Co, Weltevre-den, Batavia tahun 1930-an.

Disebutkan, kawasan Rajamandala memiliki banyak air terjun, salah satunya yang dikenal adalah Curug Jompong. Promosi kawasan Rajamandala dan Sungai Citarum, bersama sejumlah kawasan wisata alam lainnya di Jawa Barat, saat itu bekerja sama dengan perusahaan kereta api negara Hindia Belanda, Staats Spoorwegen, untuk ke kawasan Rajamandala dengan mengoptimalkan fungsi Stasiun Rajamandala di lintas Bandung-Cianjur.

Setelah Perang Dunia II yang diikuti Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tetapi kemudian terjadi pendudukan Belanda di Jawa Barat tahun 1948, keindahan alam kawasan Rajamandala pun tetap menjadi daya tarik. Informasi dari arsip Sinematek Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Jakarta), pada tahun 1948 dirilis film berjudul “Air Mata Mengalirdi Tjitaroem”.

Kini sudah hampir 90 tahun berselang, banyaknya curug di Rajamandala menjadi keindahan yang terpendam dan dinilai masih sangat alami. Sebagian curug mulai kembali diperkenalkan dan menjadi daya tarik wisata, terutama masyarakat yang sengaja bermain ke kawasan Rajamandala, termasuk ke Sanghyang Tikoro, Sanghyang Heuleut,maupun ke hutan kawasan perkemahan Cengkrong, Lokasi-lokasi tersebut umumnya berada di lingkungan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan Bagian Rajamandala.

Pencinta alam sekaligus pimpinan Pramuka Saka Wanabakti Kabupaten Bandung Barat Acep Agus Janzani, mengatakan, di sekitar Rajamandala, khususnya kawasan kehutanan dan perkebunan banyak terdapat curug. Yang berada di sekitar kehutanan Rajamandala saja meliputi Cengkrong, Sanghyang Tikoro,dan Sanghyang Heuleut, ada Curug Halimun, Curug Cikondang, Curug Hawu, Curug Pangulaan, Curug Patrol Sanghyang Heuleut, Curug Cikahurupan, Curug Bedil, Curug Kujang 15, Curug Poek, Curug Nyalangkadar, dll.

Dikatakan, berbagai curug yang terdapat di kawasan kehutanan Rajamandala rata-rata sosoknya terdapat “kolam” di bawah air terjun bersangkutan. Oleh karena itu, untuk beberapa curug yang sudah dikenal membuat yang mengunjungi sering sekalian berenang.

Dari aspek Tatar Sunda, disebutkan Acep, diketahui kawasan Sanghyang Tikoro merupakan salah satu tempat diceritakan pada legenda Sangkuriang. Legenda sendiri diketahui hanya berupa cerita prosa rakyat yang merupakan cerita secara turun-temurun.

Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Qurota Ayun, Jejen mengatakan, banyaknya curug di kawasan Citarum serta aliran Sanghyang Tikoro dan Sanghyang Heuleut kembali diketahui masyarakat manakala dilakukan proyek pembangunan Waduk Saguling tahun 1980-an lalu. Namun, kini kembali menjadi daya tarik, terutama orang-orang Eropa, Korea, dan Jepang, begitu pula para wisatawan lokal kembali menjadi cukup banyak.

Menurut Jejen, biasanya orang-orang yang berwisata ke sejumlah curug yang agak dalam, dibantu pengamanan dengan disediakan perahu karet. Namun, beberapa curug yang tak disarankan digunakan untuk berenang, terutama saat musim hujan, soalnya memiliki kedalaman 5-6 meter, namun banyak pula yang kedalamannya hanya 1-2 meter. (KodarSolihat/”PR”)

Sumber: Pikiran Rakyat, hal. 23

Tanggal: 25 Februari 2017