Air niscaya bablas menuruni kemiringan lahan Kertasari, kawasan di hulu Sungai Citarum, di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang curam dan gundul. Namun, seribu lebih embung mengantongi dan menyimpan air, menjadi sebagian sumber penghidupan warganya.
Kertasari krusial sebagai daerah tangkapan air. Berada di kaki Gunung Wayang, kawasan Kertasari menjadi titik nol kilometer Sungai Citarum dengan tujuh mata airnya, yakni Pangsiraman, Cikoleberes, Cikawedukan, Cikahuripan, Cisadane, Cihaniwung, dan Cisanti. Air dari ketujuh sumber tertampung di Situ Cisanti, lalu mengalir ke hilir Sungai Citarum.
Kertasari idealnya hijau dan rimbun oleh tanaman keras. Namun, perambahan lahan telah mendorong alih fungsi hutan dan perkebunan di kawasan itu menjadi ladang sayuran. Kini, 1.053 hektar lahan eks perkebunan kina telah berubah menjadi ladang sayuran. Sebagian ladang berada di kemiringan lahan lebih dari 50 derajat dan tanpa terasering.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Tarumajaya Agus Derajat menyebutkan, dari sekitar 15.000 hektar luas Kecamatan Kertasari, hanya 1.000 hektar atau 0,6 persen di antaranya yang dimiliki warga yang jumlahnya 66.000 jiwa. Sisanya lahan perkebunan dan hutan milik negara yang dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII dan Perum Perhutani.
Tekanan kebutuhan hidup mendorong warga menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Menurut Agus, awalnya ada sekitar 2.500 pohon kina di setiap satu hektar kebun, namun kini tinggal 10-15 persen saja. Upaya pemerintah, terutama Perhutani, mengajak beralih ke komoditas yang lebih ramah lingkungan, seperti kopi, belum mampu menggerakkan masyarakat.
Akibatnya, lanjut Agus, belum semua kawasan hutan sudah bebas dari perambahan. ”Semua butuh waktu untuk mengajak para petani berhenti bertanam sayuran di hutan,” katanya.
Dalam kondisi gundul, air meluncur menuruni lahan dan menggerus tanah hingga ke badan sungai. Sedimentasi bukan perkara remeh karena endapan terbawa hingga ke Waduk Saguling. Pemerintah terpaksa menganggarkan Rp 200 miliar untuk mengeruk Citarum.
Tahun 2003, Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) menginisiasi pembuatan embung dengan mengampanyekan kearifan tradisional terkait penataan ruang berbasis topografi, yakni gunung kaian, gawir awian, lebak caian, legok balongan (gunung dihutankan, tebing ditanami bambu, tempat rendah untuk menyimpan air, cekungan untuk kolam). Bermula di Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, embung-embung baru dibangun di kampung lain di Desa Tarumajaya, Cibeureum, dan Sukapura.
Menurut Ketua MPSA Dede Juhari, selama tahun 2003 hingga 2005, sebanyak 1.847 embung terbangun di kawasan Kertasari. Air yang tertampung di kawasan itu mencapai 923.500 meter kubik.
Penghijauan Kertasari terus berpacu dengan laju perusakan yang ditimbulkan oleh perladangan. Di tengah usaha menyelamatkan daerah tangkapan air itu, warga mengandalkan seribu embung untuk menopang kehidupan mereka. Setidaknya dari sana masyarakat bisa memahami manfaat menyimpan air di tanah.
Nama Media : KOMPAS
Tanggal : Jumat, 29 April 2011 hal 40
Penulis : M Kurniawan dan Didit Putra
TONE : NETRAL