Tahun 1999, kawasan hutan Gunung Selok gundul karena penjarahan. Tak cuma menimbulkan kerugian besar dari sisi konservasi, tetapi minat wisatawan berkunjung ke gunung itu pun menurun. Namun kini, setelah lebih dari 10 tahun, Selok kembali menghijau, rindang, dan sejuk. Jauh sebelum penjarahan, gunung itu sudah dikenal sebagai lokasi wisata alam yang memiliki nilai budaya dan spiritual. Dan, tentu saja, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemangku hutan dan masyarakat sekitar.

Gunung Selok merupakan wilayah perbukitan di ketinggian 161 m di atas permukaan laut. Secara administratif, masuk Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, satu jalur dengan objek wisata Gunung Srandil, Pantai Widarapayung, dan Pantai Ayah. Kawasan hutan 110,5 hektare itu merupakan hutan negara yang dikelola Perum Perhutani KPH Banyumas Timur.

Administratur KPH Banyumas Timur Budi Widodo melalui Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Wahono Jati mengutarakan Gunung Selok merupakan kawasan wisata unik. Selain rindang dan sejuk, dari puncak hingga kaki bukit ada gua-gua alam dan benteng peninggalan zaman Jepang. ”Keunikan itulah yang membedakan Gunung Selok dari objek wisata pantai lain. Selain menikmati keindahan panorama pegunungan dan debur ombak Laut Selatan, banyak wisatawan datang untuk melakukan kegiatan spiritual,” katanya.

Banyak Petilasan
Ya, di Gunung Selok ada tempat pertapaan Jambe Lima. Itulah petilasan Eyang Cilik Cokrowongso dan Eyang Cilik Carisukmoyorenggo, pertapaan Eyang Agung Sanghyang Jati (Eyang Tunggul Wulung), yakni tempat upacara ritual, khususnya bagi umat Budha, dan tempat konsultasi tentang kehidupan manusia, pengambilan air bertuah dari sumber air Nawangwulan, Jambe Pitu, juga tempat ziarah makam Kiai Mahfud Abdurachman (Kiai Somalangu). Gua yang ada antara lain Gua Rahayu, Ratu, Nagaraja, dan Pakuwaja. Benteng pertahanan tentara Jepang pun semula banyak. Namun kini yang tersisa dan direnovasi tinggal satu benteng.

Petilasan-petilasan di Gunung Selok mempunyai latar belakang sejarah atau mitologi. Ada makna bernuansa spiritual pada tempat itu dan ada warga masyarakat pendukung yang mengelola dan menjaga kelestariannya. Padepokan Jambe Lima, misalnya, konon dahulu merupakan markas para pendekar sakti pengawal bunga sakti Kembang Wijayakusuma, yaitu sekuntum bunga lambang kebesaran raja-raja Jawa pada masa lampau. Padepokan Jambe Pitu memiliki tiga petilasan Sang Hyang Wisnu Murti dan dua pusaka, Kembang Wijayakusuma dan Cakra Baskara.

Gua Rahayu konon merupakan tempat Raden Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram, mendapatkan tanah yang jadi syarat saat hendak babat Alas Mentaok. Gua Ratu adalah bekas petilasan Eyang Jaring Bandayuda, salah satu pendiri Kabupaten Banyumas. Adapun Mbah Somalangu atau KH Mahfud Abdurahman yang dimakamkan di kawasan itu adalah keturunan kiai besar yang mendirikan beberapa pesantren di Kebumen dan Tremas (Pacitan).

Didik Haryanto, Kepala Resort Pemangkuan Hutan Kebasen yang membawahkan objek Gunung Selok, menuturkan wisatawan yang berkunjung ke objek wisata itu kebanyakan mempunyai minat laku spiritual di petilasan, makam, atau di gua. Pada hari-hari tertentu, seperti Selasa dan Jumat Kliwon, saat bulan purnama atau bulan Sura, wisatawan membanjiri petilasan dan gua-gua yang dianggap keramat. Para penziarah datang dengan tujuan dan motivasi berbeda-beda.

Ngalap Berkah
Penjaga loket Wana Wisata Alam Gunung Selok, Nyana, menuturkan wisatawan ke tempat yang dianggap keramat itu dari berbagai lapisan, dari orang biasa sampai orang penting seperti politikus dan artis. ”Mereka datang untuk bersemedi, mencari berkah, berdoa agar selamat dunia akherat, dipercepat dapat jodoh, dilancarkan rezeki. Ada juga yang datang karena akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah,” tuturnya.

Selain ngalap berkah, kata Nyana, tak sedikit yang ingin menikmati keelokan pemandangan di sekitar Gunung Selok. Berpetualang mendaki ke puncak gunung, lalu turun melalui kaki bukit, menyusuri hutan menuju ke pantai. Mereka berwisata naik perahu dari muara sungai ke tepian pantai menuju gua di seberang muara.

”Tak sedikit muda-mudi bercengkerama di bawah kerindangan pohon atau jalan-jalan di sekitar wanawisata. Dari puncak bisa dinikmati hamparan sawah, debur ombak Laut Selatan berlatar belakang PLTU dan kilang minyak Pertamina. Saat senja, bila cuaca cerah, bisa dinikmati sunset yang sangat indah,” katanya.

Namun keunikan Gunung Selok belum tergarap baik. Kunjungan wisata masih minim. Meski tiket masuk hanya Rp 3.000, dalam sehari pengunjung rata-rata hanya 30 orang atau sekitar 10.000 orang setahun.

Yanti (44), penikmat wisata alam asal Purwokerto, mengakui mengagumi keindahan alam pantai yang bisa dipandang dari puncak gunung. Namun karena belum tersedia gardu pandang, wisatawan tak bisa menikmati secara utuh pemandangan laut lepas pantai selatan. ”Perlu gardu pandang agar wisatwan bisa leluasa menikmati keindahan debur ombak Laut Selatan dan sunset. Fasilitas pendukung seperti areal parkir dan tempat istirahat juga belum tersedia. Jalan menuju lokasi pun perlu diperbaiki,” ujar dia.

Wahono Jati pun tak mengelak atas keterbatasan fasilitas itu. Sebagai kawasan wisata alam dan spiritual, masih banyak hal harus dibenahi. Tanpa pembenahan dan penambahan fasilitas, dikhawatirkan minat pengunjung menurun. Pendapatan dari objek wisata Gunung Selok tahun 2011 hanya Rp 11 juta. Itu sangat jauh dari potensi yang bisa digali.

KPH Banyumas Timur sudah membuat master plan alternatif pengembangan Gunung Selok yang mampu menyedot wisatawan lebih dari 24.000/tahun. Rencananya, tahun 2012 di kawasan wisata Gunung Selok ditambah area perkemahan dan cottage, arena bermain, gardu pandang, dan shelter di atas bukit serta perbaikan jalan dan area parkir. (51)

SUARA MERDEKA :: 08 Januari 2012, Hal. 19