KOMPAS.COM (16/04/2021) |Warga Desa Durenan, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, tahu betul cara memanfaatkan tanaman porang. Di desa ini, warganya terbilang sejahtera setelah mengenal porang. Keuntungan yang didapat hingga ratusan juta rupiah.

Salah satu warga yang memanfaatkan porang adalah Sujito (30). Dulu dia bekerja di Papua dan Kalimatan. Namun, karena pendapatannya pas-pasan, Sujito akhirnya memilih kembali ke kampung halaman di tahun 2016.

Di desa, Sujito mencoba peruntungan dengan menjadi petani. Dia menanam jagung dan singkong. Namun, panen yang dihasilkan tak maksimal.

Tak puas dengan hasil panen jagung dan singkong, Sujito kemudian melirik porang. Untuk menanam porang, awalnya ia mencoba memanfaatkan kebun seluas 200 meter persegi miliknya.

“Saya mendapatkan informasi bertanam porang hasilnya menggiurkan. Dan sekali tanam akan panen selamanya,” ujar Jito, panggilan akrab Sujito, kepada Kompas.com, Rabu (14/4/2021).

Modal yang digunakan pun berasal dari tabungannya selama bekerja merantau di Papua dan Kalimantan. Untuk bertanam porang, Jito belajar otodidak. Ia banyak belajar dari petani porang lainnya dan media sosial.

Menikmati hasil

Jito mulai menikmati hasil setelah dua tahun menanam porang. Harga umbi porang naik dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 10.000 per kg. Bahkan, setahun lalu, Jito mendapat untung besar dari hasil budidaya porang. Pria itu meraup Rp 700 juta dari bertanam porang di lahan miliknya seluas satu hektare. Namun, tentu saja modal yang dikeluarkan untuk menanam porang di lahan satu hektare memanglah tidak sedikit. Total ia mengeluarkan uang sekitar Rp 200 juta.

Modal tersebut diperuntukkan untuk membeli tujuh ton bibit porang atau kurang lebih 21.000 biji seharga Rp 175 juta dan biaya pekerja serta pemupukan Rp 15 juta. Ia menanam biji porang dengan jarak tanam setengah meter antar bibit. Hasilnya dalam tujuh hingga delapan bulan ia memanen 63 ton porang dengan nilai jual Rp 630 juta.

Tak hanya itu, semasa tanam rupanya ia juga mendapatkan hasil pendapatan lainnya dari biji katak (buah porang yang bisa dijadikan bibit). Total biji katak yang didapat sekitar 900 kilogram. Biji katak itu dijual Rp 300.000 perkilogram. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh dari hasil menjual katak sekitar Rp 270 juta.

“Omzet penjualan porang dan katak sekitar Rp 900 juta,” kata Jito. Jito mengaku keuntungan yang diperoleh dibelikan mobil baru, satu hektare tanah, dan modal tanam tahun ini.

Cerita lain datang dari Aldo Kriswanto (21), petani muda yang juga mendapatkan keuntungan dari menanam porang. Aldo memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai sekuriti di Surabaya dan pulang ke kampung halamannya untuk menjadi petani porang. Aldo memulai menanam porang sekitar dua tahun yang lalu. Bermodal uang tabungan sebesar Rp 15 juta selama bekerja di Surabaya, Aldo menaman porang di lahan kosong milik keluarganya. Usai panen perdana, Aldo tak langsung menjualnya. Umbi dan biji katak yang dihasilkan ditanam lagi di masa tanam kedua. Saat ini ia tinggal menunggu hasil panen yang akan siap dijual.

“Ya kira-kira umbinya nanti kalau dijual sekitar Rp 50 juta,” kata Aldo. Aldo mengaku saat ini banyak anak-anak muda yang sebelumnya merantau, memilih pulang kampung untuk menanam porang sejak komoditas pertanian itu memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan, saat ini di desanya sudah terbentuk paguyuban petani muda porang dengan pendampingan pemerintah desa dan YMPI.

Desa perantau

Bertanam porang membawa berkah tersendiri bagi warga di Desa Durenan. Desa yang berada di bawah lereng Gunung Wilis itu dahulunya dikenali sebagai daerah perantau. Sebab, banyak pemuda di desa itu pergi merantau bekerja di luar Jawa untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, saat ini, para pemuda kembali ke kampung halaman untuk menanam porang.

“Dahulu sebelum mendapatkan modal dari KUR BNI, pemuda di sini banyak yang jual sapi dan motor untuk menanam porang,” kata Kepala Desa Durenan, Purnomo, Rabu (14/4/2021).

Menurut Purnomo, warga sekitar sudah menanam porang sejak tahun 2009. Hanya saja petani mulai memanen banyak tiga tahun terakhir setelah semua banyak menanam porang. Purnomo mengatakan, banyak warga mulai menanam porang setelah harga komoditi umbi-umbian itu meroket tinggi. Petani yang menanam porang terbagi tiga yakni kelompok tani hutan, LMDH, dan kelompok tani. Kelompok tani menanam di lahan kering dan sawah sendiri. Kelompok tani hutan menangani tanah kering di luar perhutani. Sementara LMDH menangani lahan di kawasan perhutani. Jumlah petani yang terlibat sekitar 500-an orang yang didominasi anak-anak muda. Sementara area lahan yang digarap sudah mencapai 250 hektare.

Sumber : kompas.com

Tanggal : 16 April 2021