Setiap kesulitan umumnya memang menyakitkan. Namun bila si pelaku mau menyikapi dengan kepala dingin dan mengambil berbagai langkah konstruktif untuk mengatasi, sesungguhnya kesulitan justru bisa menjadi titik tumpu melompat ke arah kemajuan.
Prinsip inilah yang tampaknya diyakini tim Direksi Perum Perhutani dalam menjalankan bisnis kehutanan. Perusahaan pelat merah itu dalam satu dasawarsa terakhir — lebih tepatnya sejak era reformasi bergulir — mendapatkan tantangan pelik, baik internal maupun eksternal. Namun, manajemen mereka tidak panik dan justru menyikapinya dengan pembenahan di sana-sini.
Alhasil, kesulitan yang membelit secara bertahap terurai dan performa perusahaan pun makin baik. Setidaknya hal itu tampak dari kinerja keuangan dan pengakuan dari luar. Tahun 2010 Perhutani sanggup meraup pendapatan Rp 2,78 triliun, meningkat dari tahun 2009 yang sebesar Rp 2,3 triliun. Peningkatan cukup signifikan tampak pada laba bersih, dari Rp 157,8 miliar di 2009 menjadi Rp 275,7 miliar di 2010. “Tahun 2011 estimasi pendapatan Rp 3,54 triliun. Tapi kami belum tahu bagaimana pengaruh gejolak pasar dunia terhadap penjualan ekspor,” ungkap Bambang Sukmananto, Presiden Direktur Perum Perhutani.
Pengakuan terhadap prestasi Perhutani pun datang dari pihak luar. Dari audit kantor akuntan publik independen terhadap neraca keuangan 2010, Perhutani mendapat penilaian “A”’ alias sangat sehat. Lalu, tahun 2010 memperoleh predikat “excellent” dalam ajang Indonesia Quality Award (IQA) 2010 yang menggunakan parameter Malcolm Baldrige for Perfomance Excellence. BUMN kehutanan itu meraih skor 400, meningkat pesat dari tahun 2008 yang baru memperoleh skor 288. Peningkatan ini tak lain berkat pembenahan bidang operasional.
Karena prestasinya tersebut, akhirnya bisa dimengerti di tengah berkembangnya wacana holdingisasi BUMN kehutanan, Perhutani banyak disebut paling layak menjadi perusahaan induk. Selain paling besar skala bisnisnya, kompetensi operasional dan manajerialnya pun dinilai paling siap.
Prestasi BUMN yang mengelola hutan negara di Jawa-Madura seluas 2,4 juta hektare ini memang tak bisa dianggap remeh. Maklum, pascareforrnasi, Perhutani menghadapi tantangan eksternal yang tak ringan. Sebut contoh, masalah kooptasi lahan oleh warga sekitar hutan kelolaan dan pembalakan liar. Di berbagai tempat jumlah lahan hutan Perhutani makin menurun. Ini belum termasuk penciutan hutan disebabkan kebutuhan fasilitas umum seperti jalan tol. Belum lagi bisnis perkayuan Perhutani sebagai bisnis inti juga menjadi sorotan terkait isu lingkungan. Bisnis kehutanan diidentikkan dengan perusakan hutan walaupun tidak semua perusahaan melakukan hal itu. Belum lagi berkembang isu moratorium penebangankayu dihutan yang jelas menjadi ancaman bisnis Perhutani. Posisi BUMN ini pun jadi terjepit di satu sisi harus menjaga hutan dengan baik, tetapi di sisi lain harus cari laba. “Mengelola bisnis Perhutani ini unik. Selain harus untung, juga harus bagus mengelola people dan planet. Ada jutaan orang tinggal di sekitar hutan-hutan Perhutani,” ujar Bambang.
Dari sisi internal, tantangan bisnisnya juga berat karena hasil kayu selama ini bergantung pada panen kayu jati. Pada 4-5 tahun lalu, 90% bisnis kayu Perhutani disumbang penjualan kayu jati. Di sisi lain, siklus panen kayu jati sangat panjang, umur 40-60 tahun baru bisa dipanen. Tak mengherankan, kayu-kayu jati yang bisa dipanen tak lain merupakan peninggalan Belanda. Bahkan problemnya, tak hanya ketergantungan pada jati, bisnis Perhutani sendiri secara umum saat itu pun masih mengandalkan sektor kayu.
Fakta itu belum termasuk berbagai problem warisan seperti cara kerja dan budaya organisasi yang lamban, kental dengan corak birokrasi. Lalu, minimnya transparansi dan keterpaduan pengelolaan operasional antardivisi dan unit usaha. Ditambah pula organisasi yang gendut. Betapa tidak, empat tahun lalu jumlah karyawan Perhutani sempat lebih dari 30 ribu orang. Beban biaya belanja gaji yang tinggi, plus pendapatan usaha yang datar-datar saja, membuat suram kinerjanya.
Di tengah kondisi itu, muncul ide pembenahan di berbagai bidang. Transformasi digelar Upiek Rosalina Wasrin (CEO saat itu) dan sekarang makin dipertajam Bambang. “Pak Bambang itu birokrat, namun naluri bisnis dan kecepatan pengambilan keputusan bisnisnya melebihi saya yang asli dari dunia bisnis,” kata Ans Kosasih, Direktur Keuangan Perhutani yang sempat berkarier di Citibank dan Nestle.
Bila diamati, komitmen transformasi Perhutani memang tak main-main. Untuk proyek transformasi ini, misalnya, mereka mendirikan sebuah unit lembaga tersendiri yang dinamai Banstra, singkatan dari Pengembangan Strategi dan Transformasi Perusahaan. Unit lembaga ini dikepalai seorang deputi direktur, ditugaskan membangun dan mengawal program transformasi agar berjalan efektif.
Ada sejumlah langkah yang dilakukan Perhutani untuk mempercantik bisnisnya. Di bidang keuangan, misalnya, guna memperlancar arus keuangan dilakukan efisiensi belanja pegawai. Maklum, biaya gaji menjadi beban rutin terberat. Caranya dengan merampingkan jumlah karyawan.
Sebelum reformasi ada berbagai pilihan yang bisa ditempuh untuk merampingkan jumlah karyawan yang sempat di atas 30 ribu orang. Melakukan PHK?
Itu cara yang mudah memang, tetapi tak mungkin dilakukan Perhutani karena tak punya cukup anggaran untuk memberi pesangon.
Setelah profil karyawan dianalisis, ternyata segmen karyawan usia menjelang pensiun porsinya besar, Melihat kenyataan ini, manajemen lalu menempuh strategi negative growth untuk jumlah karyawan. Caranya, tidak merekrut karyawan baru, tetapi juga tidak mem-PHK-kan karyawan. Perusahaan membiarkan mereka yang ingin pensiun.
Cara ini efektif. Perhutani tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk PHK, tetapi organisasi secara bertahap menjadi makin ramping. Jumlah karyawan berkurang menjadi sekitar 24.000orangsaatini. Dari 24.000 orang itu, 12.000 merupakan karyawan dan sisanya merupakan pekerja pelaksana. Tentu efisiensi ini berdampak besar pada keuangan perusahaan.
Di sisi lain, bidang SDM menjadi gawean serius. Manajemen Perhutani berusaha mendorong agar budaya kerja semakin profesional dan mampu bersaing laiknya perusahaan swasta. “Di bidang SDM, salah satu yang terpenting (adalah) implementasi pengelolaan SDM berbasis kompetensi dan perubahan sistem reward,” ungkap Hari Priyanto, Corporate Secretary & Legal Head Perhutani.
Sistem berbasis kompetensi ini di Perhutani dipopulerkan dengan nama Integrated Competency-Based Human Resources Management yang mulai dijalankan pada 2009. Dalam sistem baru, semua orang dinilai, ditempatkan dan diberi imbalan berdasar kompetensi. Upayaini tak main-main sehingga mereka secara khusus mendirikan divisi baru, yakni Assessment Center yang bertugas mengukur kompetensi karyawan (competency level index). Dengan tahu level kompetensi masing-masing karyawan, penanganan dan pemberian pelatihan lebih terarah.
Seiring dengan implementasi pengelolaan berbasis kompetensi, sistem imbalan juga diubah. Tujuannya agar karyawan makin terpacu berprestasi dan memberi kontribusi. Sistem imbalan baru modelnya contribution-based (tinggi-rendah imbalan tergantung pada kontribusi). Kalau ada sebuah unit yang hanya mencapai target 80%, bonusnya juga cuma 80%. Kalau ada yang bisa 120% dari target, bonus di unit itu juga 120%. “Waktu kami terapkan formula ini, kami hampir didemo karena di Perhutani tidak umum meski di perusahaan swasta besar sudah biasa,” Ans Kosasih menceritakan.
Perubahan lainnya, dulu hanya dikenal dua benefit, yakni imbalan tetap (gaji, THR, jamsostek) dan bonus korporat tahunan, sedangkan sejak 2010 diterapkan formula baru, yakni ada insentif yang besarnya tergantung pada prestasi karyawan dan unit kerja. Bila kontribusi sebuah unit kerja makin besar dan melebihi target yang dibebankan, imbalan makin tinggi. Sistem baru ini dijadikan salah satu pilar untuk menggerakkan semangat berprestasi.
Perubahan besar juga dilakukan dalam manajemen sistem informasi. Dulu, sama- sama transaksinya, antara bagian pemasaran dan produksi bisa berbeda data walau kasus transaksi sarna. Ini disebabkan tidak ada keterpaduan manajemen informasi, padahal data sangat penting untuk akurasi pengambilan keputusan. Karena itu, sejak tiga tahun lalu diimplementasi sistem II berbasis ERP (enterprise resources planning) dan pada tahap pertama yang dibereskan ialah bidang keuangan. Saat ini semua data keuangan dari unit bawah sampai pusat sudah terpadu. Dengan sistem informasi baru, pengambilan keputusan selain akurat juga 5-6 kali lebih cepat.
Di bidang organisasi, Perhutani melakukan restrukturisasi sehingga lebih memudahkan pengelolaan dan lebih market friendly. Dulu kantor cabang di daerah merangkap tugas menjadi pengelola hutan (administrator) sekaligus melayani penjualan ke konsumen. Pola ini kemudian diubah. Pengelolaan hutan ditangani kantor Kesatuan Pemangkuan Hutan, saat ini ada 57 KPH, tersebar di Jawa-Madura. Tugas mereka khusus mengelola dan mengawasi huta alias urusan produksi.
Adapun bisnis (pemasaran) dikelol unit Kesatuan Bisnis Mandiri. KBM yang sekarang jumlahnya 23 lokasi kantor ini berhubungan langsung dengan pelanggar Kalau ada pembeli mau mencari kayu, mereka mengubungi KBM dan KBM yang berkoordinasi dengan KPH. “Dengan cara ini pelanggan tak bingung harus menghubung siapa, atau cari kepala KPH yang jumlahny. lebih dari 50 itu. Mereka tak direpotkan urusan ketersediaan produk karena itu urusai KBM dan KPH,” Bambang menerangkan.
Pemetaan organisasi juga dilakukan terkait penempatan orang agar sesuai dengai kebutuhan. Contohnya, karyawan di sebual unit kerja, bagian support, jumlahnya terlah banyak, mereka kemudian dipindahkan Bambang menceritakan, proses penataai SDM seperti ini terus dilakukan sampa sekarang. “Barusan saya juga bicara dengan direktur umum, ada unit kerja yang karyawannya 50 tapi tak ada profitnya. Saya sudah bicara untuk dipindahkan ke uni kerja yang produktif namun kekurangar orang.”
Salah satu transformasi paling menarik terjadi di lini ini, yakni di hutan. “Kami mencoba melakukan inovasi di kebun, terutama dengan pengenalan teknologi penanaman,” ujar Bambang. Dia mencontohkan, dulu untuk bisa panen jati butuh waktu 40-60 tahun sekarang pihaknya telah menemukan dan menanam jati yang 20 tahun bisa dipanen.
Tak hanya itu. Pohon yang ditanam juga, tak melulu jati karena kini dibuat variatif, sesuai dengan kondisi hutan. Selain jati, tanaman rimba yang sudah ditanam antara lair mahoni, sonokeling, damar, akasia, jabon sengon, gmelina, rasamala dan pulai. Kini Perhutani berprinsip tak harus menanam jati walaupun secara historis jati merupakan mesin uang mereka. Di hutan-hutan tertentu yang rawan pembalakan, misalnya, BUMN inilebih suka menanam pohon-pohon non jati. Bahkan, pohon-pohon nonjati juga ditanam di sela-sela tanaman jati dan pagar (pinggir) hutan. Perhutani juga mulai melirik tanaman karet. Selain getahnya, kayu karet juga mulai dihargai.
Jangan salah, bila melihat portofolio bisnis kayu, kontribusi bisnis nonjati sudah cukup siginifikan, menyentuh 40:60. bahkan melebihi produksi pohon jati. Namun karena harga kayu jati lebih mahal, nilai totalnya masih lebih besar jati. Tahun 2011 diprediksi produksi kayu jati mencapai 447.182 ton, sedangkan produksi kayu rimba nonjati mencapai 576.802 ton.
Perhutani kini juga serius mengurangi ketergantungan pada bisnis kayu log. Program ini cukup sukses karena mereka berhasil merintis bisnis bahan-bahan kimia berbahan baku hasil hutan. Misalnya, gondorukem dan terpentin. Produk gondorukem dan terpentin merupakan hasil destilasi getah pohon pinus. Gondorukem menjadi primadona baru karena sangat dibutuhkan sebagai bahan baku industri kertas, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak dan politur. Bahkan, juga di bisnis farmasi (obat batuk) dan kosmetik. Harga komoditas ini terus meroket. Harga gondorukem di pasar internasional kini mencapai US$ 3.000 per ton. Sekitar 80% total produksi gondorukem dan minyak terpentin diekspor ke berbagai negara Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat.
Tahun 2009 kontribusi penjualan bisnis kimia hasil hutan ini sudah mencapai Rp 599 miliar dan tahun 2010 sudah menyentuh Rp 865 miliar. Di segmen kimia hutan, selain gondorukem dan terpentin, Perhutani memproduksi pula bahan baku untuk kopal, minyak kayuputih, lak, minyak ylang-ylang, dll. Sangat menarik, program mengurangi ketergantungan pada bisnis kayu log ini cukup berhasil. Neraca keuangan tahun 2010 memperlihatkan kontribusi sektor kimia kehutanan sudah mencapai 30% dari pendapatan.
Tak puas dengan pencapaian yang ada, Perhutani kini tengah menjalankan strategi next step dengan membangun industri pengolahan. “Selama ini kami jual produk mentah, kini sedang bangun pabrik agar yang dijual produk olahan sehingga harga lebih tinggi. Pabriknya sedang kamibangun. Semoga tahun depan sudah bisa jualan,” ungkap Bambang. Bila pabrik itu selesai, nilai penjualan diperkirakan tiga kali lipat karena harganya memang jauh lebih mahal. Investasi pabrik diperkirakan menelan biaya Rp 30 miliar.
Bila dilihat dari keseluruhan cetak biru program transformasi, strategi diversifikasi bisnis agar tidak tergantung pada sektor kayu ini memang menjadi salah satu pilar terpenting. Diversifikasi kini banyak dilakukan, baik yang sudah jalan maupun yang sedang tahap kontruksi.
Di bisnis nonkayu, yang sudah berjalan baik antara lain produksi air minum dalam kemasan (AMDK), melayani pasar Jepang, bekerja sarna dengan perusahaan Jepang, Curious Co. Ltd. “Jepang butuh banyak AMDK dan kami dipilih karena standar kami memenuhi kriteria mereka yang sangat ketat,” Bambang menuturkan. Perhutani memproses AMDK dari mata air asli di salah satu hutan miliknya di Jawa Barat. “Kini kami justru kedodoran memenuhi permintaan karena odernya makin banyak,” kata Bambang bersemangat.
Bisnis AMDK itu bagian dari kelompok bisnis forest food & health product yang ditekuni Perhutani. Selain AMDK, di segmen ini pihaknya pun memproduksi madu hutan. Masih di segmen ini, juga diproduksi kopi, cengkeh, aren, jagung dan empon-empon. Malah sebenarnya Perhutani mengembangkan bisnis ekoturisme memanfaatkan keindahan hutan, hanya saja kontribusi bisnis ini masih kecil karena memang belum tergarap maksimal.
Proses transformasi Perhutani mendapatkan momentum kuat di tahun ini setelah Bambang menduduki posisi CEO. “Pak Bambang memimpin revolusi industri di Perhutani. Tahun ini kami akan banyak investasi dan akuisisi sekitar lima perusahaan,” ujar Ans Kosasih tanpa mau menyebut perusahaan yang bakal diakuisisi. Pernyataan Kosasih memang faktual.
Tahun ini berbagai program investasi baru dijalankan. Contohnya, ketika diwawancarai SWA, Bambang baru pulang meninjau perusahaan mitranya di Korea Selatan yang akan bekerja sarna memproduksi wood pellet sebagai bioenergi. “Di Korea produk ini sudah dipakai sebagai bahan baku industri yang kalorinya hampir setara batu bara. Mereka kekurangan bahan baku, makanya kami mau joint bisnis,” kata Bambang seraya menujukkan sampel produk pellet bioenergi tersebut.
Contoh investasi lain, pendirian pabrik kayu lapis. Bambang menjelaskan, sementara banyak perusahaan kayu lapis di luar Jawa gulung tikar, Perhutani justru mulai masuk dan mendirikan pabrik kayu lapis karena punya bahan baku cukup, yakni dari kayu sengon di hutan-hutan Perhutani. Pemasaran produk ini sudah terjamin karena memang telah ada pembeli dari Jepang.
Mengenai akuisisi, tahun ini setidaknya ada lima perusahaan yang akan diinjeksi. “Kami hanya beraliansi dengan BUMN atau swasta bonafide karena Perhutani punya banyak bahan baku,” kata Bambang seputar strateginya. Dalam proyek akuisisi itu Perhutani sengaja memilih menjadi pemegang saham minoritas, kecuali pada sebuah proyek akuisisi perusahaan furnitur besar yang saat ini sedang proses. Mereka sengaja memilih menjadi pemegang saham minoritas agar budaya kerja di perusahaan yang dibeli tetap ala swasta, tidakikut-ikutan budaya birokrasi.
Tubagus Hanafi, Direktur Program MM Eksekutif Binus Business School, membuat metafora proses transformasi bak seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu. “Artinya, perubahan signifikan yang biasanya menghasilkan peningkatan kinerja signifikan,” kata Tubagus. Dalam proses transformasi setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan. “Yaitu, strong leadership, strategy, process, technology dan people. Mengapa leadership dinomorsatukan? Karena, dalam transformasi akan banyak hal yang perlu kejelasan dan ketegasan seorang pemimpin di saat menjalani perubahan,” dia menjelaskan.
Tubagus melihat lima hal itu sudah ada di Perhutani sebagaimana di Bank Mandiri, Telkom dan PLN. Menurutnya, BUMN ini sudah cukup inovatif dalam menentukan portofolio bisnis, menerapkan proses dan mengembangkan SDM. Inovasi merupakan kata kunci dalam transformasi. Namun, Tubagus menyarankan agar Perhutani juga aktif mengomunikasikan hal-hal terkait isu ramah lingkungan. Di bidang ini mereka perlu terus belajar agar bisa cepat mengantisipasi tantangan dengan solusi-sokusi kreatif. “Communication strategy harus dijalankan guna memberitahu dunia bahwa Perhutani telah melakukan banyak hal. Banyak perusahaan yang sudah berbuat banyak terhadap lingkungan, tapi karena buruknya communication strategy, tetap mendapat kecaman sebagai perusak lingkungan,” dia mewanti-wanti.
Ketika ditanya optimismenya membawa Perhutani menjadi perusahaan besar yang solid laiknya perusahaan besar swasta, Bambang merasa yakin bisa mencapainya. Apalagi, melihat kinerjanya sejauh ini. “Alhamdulillah, sejak 2009 kinerja keuangan kami trennya terus naik,” katanya. Dia optimistis lewat berbagai investasi yang dilakukan, pendapatan 2014 bisa mencapai Rp 8 triliun. “Asal kami diberi kebebasan mengelola, diberi kewenangan untuk mencapai kemajuan, dan jangan banyak diberi beban yang tidak perlu,” katanya memberi syarat. Bambang mencontohkan kalangan BUMN di Cina yang sangat efisien dan maju karena bekerja sarna dengan swasta dan diberi kewenangan penuh.
Di tengah hasil positifyang ada, Bambang mengakui transformasi yang dijalankannya bukan hal mudah. Selain itu, perjalanannya juga masih panjang. “Transformasi yang paling penting ialah perubahan mindset. Saya sudah bilang ke internal, ”Kita harus mau change. Kalau tidak, kita akan tergilas oleh pemain-pemain swasta,” ujarnya menandaskan. Ya, berubah, berubah, berubah. Kalau tidak, kesulitan dan kemalangan akan kembali datang.
Nama Media : MAJALAH SWA
Tanggal         : XXVII 27 Oktober – 9 November 2011, Hal. 74-79
Penulis           : Sudarmadi
TONE              : POSITIVE