TRIBUNNEWS.COM (17/03/2021) | “Dulu Liar Kini Diincar”.Kalimat tampaknya pas untuk menggambarkan kondisi satu jenis tanaman umbi-umbian yang tengah naik daun, yakni porang.

Apalagi sejak daerah Madiun berhasil menyabet gelar penghasil porang unggulan dengan label “Porang Varietas Madiun 1” berdasarkan keputusan Menteri Pertanian per 3 Juli 2020 dengan nomor 906/HK.540/C/07/2020.

Kondisi itu pula membuat Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Timur atau BI Jatim mengangkat tema “Porang : Dulu Liar Kini Diincar” pada acara rutinitas talkshow ngopi virtualnya. Rabu (17/3/21).

Hadir dalam acara tersebut Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Harmanta, Kepala Desa Klangon – Lereng Gunung Pandan Didik Kuswandani, Akademisi Pertanian Universitas Brawijaya Doddyk Pranowo dan tentunya petani porang yang tengah viral yaitu Paidi.

Dalam kesempatan itu, Harmanta mengatakan, seiring tengah populer dibicarakan masyarakat, potensi porang memang sangat besar melihat kebutuhan dan manfaatnya pada beberapa industri.

“Itu karena umbi porang banyak mengandung glucomannan berbentuk tepung,” ujar Harmanta.

Menurutnya kandungan glucomannan sendiri merupakan serat alami yang larut dalam air biasa digunakan sebagai aditif makanan sebagai emulsifier dan pengental, bahkan dapat digunakan sebagai bahan baku tepung, kosmetik, penjernih air, bahan pembuatan lem ramah lingkungan dan pembuatan komponen pesawat terbang.

Selain itu, pengembangan porang dari hulu sampai hilir juga memiliki peluang yang besar.

“Pengolahan porang dari mulai umbi, chip porang sampai dengan produk akhir memiliki added value yang besar, sehingga memiliki potensi nilai ekonomis yang besar dan mampu masuk ke pasar global,” terangnya.

Sementara itu, Doddyk mengatakan, peluang bisnis berbahan baku porang yang memiliki potensi besar saat ini banyak menjadi produk olahan makanan, seperti mie shirataki, beras konyaku, mie shirataki instant, pasta porang, konyaku, boba dan turunan makanan lainnya yang dapat digolongkan sebagai healthy food.

Bahkan, produk turunan porang juga dapat diolah sebagai bahan baku produk kecantikan, seperti butiran pembersih wajah, spons pembersih wajah, supplement diet, pengental alami, pembersih wajah, dsb. Namun demikian sebelum menjadi produk olahan akhir, umbi porang terlebih dahulu diolah menjadi chips yang dikeringkan melalui pengeringan oven atau dikeringkan secara manual (penjemuran matahari).

“Setelah menjadi chips yang kering, umbi porang diolah menjadi tepung porang sampai dengan ekstrak Glukomannan,” sambung Doddyk.

Doddyk menambahkan, berdasarkan hasil analisanya, produktivitas lahan porang adalah sebesar 70ton/Ha.

“Analisa itu ada berdasarkan data ekspor porang pada tahun 2019-2020 yang sebesar 20,5 Juta Kg Chips atau setara dengan 136 Juta Kg Porang Basah dan dihitung dengan jika dirata-ratakan kembali,” imbuhnya.

Jika dilihat dari hasil analisanya itu pula, lanjut Doddyk, dengan demikian artinya potensi porang memang cukup besar terutama di pasar global.

Oleh karenya pula, diharapkan pasar dalam negeri juga dapat didukung serta diperkuat dalam menyerap produk hasil pengolahan porang, ditengah tantangan branding produk porang yang cenderung masuk ke produk kelas menengah ke atas.

“Ke depan, diharapkan adanya dukungan inovasi dalam mempopulerkan produk olahan porang menjadi fokus pengembangan pasar porang dalam negeri, sehingga tanaman porang tidak hanya dinikmati oleh pasar luar negeri namun juga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Disisi lain, Didik Kuswandi mengatakan, di Lereng Gunung Pandan Madiun, utamanya Desa Klangon, memang sejak jaman dulu mata pencaharian utama masyarakatnya adalah berkebun di lahan Perhutani dan masuk dalam impres desa tertinggal.

Adapun salah satu tanaman yang menjadi komoditas tanam pada lahan hutan tersebut adalah berbagai macam tanaman rempah-rempah sampai dengan tanaman Porang.

Dari adanya potensi bagus berbagai macam tanaman tersebut, kemudian pada tahun 1985 dibentuklah kerjasama antara Desa Klangon dengan Perhutani untuk pengembangan tanaman Porang, dimana pada saat itu harga porang masih rendah yakni sebesar Rp 100,-/kg.

Melalui adanya kerjasama itu, kemudian dibentuklah demplot percontohan budidaya tanaman porang.

Dari situlah pada akhirnya membuat masyarakat Klangon mulai menanam porang pada lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan, sehingga hampir 100% warga Klangon saat ini telah menanam dan membudidayakan porang.

Adapun ke depan, untuk dapat menambah nilai tambah terhadap budidaya tanaman Porang sendiri, maka diharapkan bisa juga mengkolaborasikan tanaman porang dengan tanaman lainnya, yakni dengan sistem irigasi melalui mata air pegunungan.

“Bahkan, Pemerintah Daerah juga mengharapkan sistem budidaya tanaman porang itu juga dapat diadopsi dan dikembangkan di wilayah lainnya,” ungkapnya.

*Porang Tidak Hanya Bisa Tumbuh di Kawasan Pegunungan*

Petani Porang Viral yang kini tengah banyak disebut sebagai Master Porang yakni Paidi mengungkapkan bahwa tanaman Porang yang dianggap hanya bisa tumbuh pada wilayah hutan di lereng gunung adalah kekeliruan.

Pasalnya pada tahun 2010 ia pernah mengembangkan pola rekayasa tanam tanaman Porang pada lahan perkebunan lainnya.

Paidi menyontohkan, pada naungan tanaman singkong meski dengan modal seminimal mungkin, namun melalui rekayasa tanam tanaman Porang dengan lahan perkebunan/lahan pertanian didapatkan satu umbi porang (katak) dapat menghasilkan 7 bulbil tanaman porang.

“Bahkan sistem bertanam itu, saat ini telah dibuka oleh laboratorium terbuka untuk pembelajaran rekayasa tanam budidaya porang yang dapat dipelajari masyarakat luas,” tandasnya.

 

Sumber : Tribunnews.com

Tanggal : 17 Maret 2021