Membahas situ (danau) di Garut belum lengkap jika tidak mengulas Situ Cibereum. Situ yang terletak di Kampung Legok Puius, Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang ini merupakan salah satu prioritas dari sekian banyak potensi alam milik Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH)  Garut yang lain untuk dijadikan objek wisata alam.
Siapa pun dapat dengan mudah berkunjung ke kawasan situ yang  berlokasi di tengah-tengah hutan lindung Gunung Guntur ini. Aksesibilitas  menuju kawasan itu sudah didukung dengan infrastruktur jalan yang memadai. Hanya berjarak sekitar 20km dari pusat keramaian lbu Kota Kabupaten Garut, para pengunjung dapat  sampai di kawasan ini selama kurang lebih 40 menit saja.
Situ ini berlokasi pada ketinggian 2.124 meter di atas permukaan laut (dpl). Maka tak heran, bila gugusan  panorama perbukitan yang sarat dengan perkebunan sayuran milik warga, seolah menjadi bingkai di sekeliling  jalan menuju kawasan Situ Cibereum.  Karena terletak di ketinggian ini pula,  suhu udara maksimal di kawasan itu  pada musim panas hanya mencapai 18 derajat celcius.
Sebelum masuk ke kawasan Situ Cibereum lebih dalam, pertarna kali  kita akan disambut barisan pohon  pinus serta sahutan kicau berbagai  jenis burung cantik liar saat melewati gerbang masuk utama. Di beberapa pijakan kaki berikutnya, riak gemericik air yang berasal dari mata air Gunung Guntur, lambat laun masuk  berdesakan masuk untuk menggetarkan perlahan gendang telinga kita.
Bagaimana pun, bila dilihat dari kontur wilayah dan letak lokasi mata air  Gunung Guntur yang ada di sini, daerah tersebut merupakan pemasok air utama bagi salah satu sungai terbesar di Garut, Sungai Cimanuk. Debit airnya yang mencapai 1.500 liter  per detik setidaknya bisa mengairi areal persawahan di empat desa se1uas  900 hektare (ha) lebih.
Kawasan Situ Cibereum memiliki dua objek yang dapat kita nikmati; yaitu objek romping ground dan objek danau air bening Situ Cibereum sendiri. Di objek camping grournd, objek  yang berlokasi sekitar 500 meter dari gerbang masuk, kita bisa melakukan  aktivitas seperti berkemah, outbond,  dan berbagai aktivitas outdoor lainnya. Sedangkan di objek danau Situ  Cibereum, objek yang berlokasi sekitar 1,5 km dari gerbang masuk, kita  dapat berekreasi dan bersantai bersama ke1uarga atau kolega. Memancing,  ikan mas misalnya.
Sebelumnya, situ ini dikenal dengan  nama Situ Pa Enti. SaJah seorang warga Kampung Legok Pulus, Mak Ijah, 57, menuturkan, asal nama Pa Enti  ini diambil dari nama seseorang yang  dipercaya oleh sebagian warga sebagai  tokoh pembuat situ ini di masa lalu.  “Saya kurang tahu pasti mengenai kebenaran dan detail cerita itu. Orangtua saya dahulu pernah menceritakannya. Bahkan situ ini juga sudah ada  sebelum zaman kolonial Belanda dimulai,” katanya saat ditemui di lokasi  Situ Cibereum.
Percaya atau tidak, satu hal pasti yang perlu kita ketahui mengenai adanya situ ini sebenarnya tidak Iepas  dari kiprah Aang Suhana, mantan Camat Samarang di era tahun 2000-an.  Pada tahun 2002 lalu, ia memiliki ide untuk membersihkan kawasan Situ  Cibereum dari ilalang liar dan semak  belukar.
“Kawasan ini dianggap beliau memiliki potensi. Setelah diberi izin oleh Perhutani, Aang Suhana mengajak seluruh warga Kecamatan Samarang untuk ikut melakukan kerja bakti membuka lahan belukar kawasan ini di tahun 2002 lalu,” ujar kepala petugas  gerbang utama kawasan Situ Cibereum, Aa Jana, 49.
Ditambahkan Jana, berbagai pembenahan pun dilakukan pada beberapa tahun berikutnya. Setelah pihak  pemerintahan Desa Sukakarya dilibatkan dalam proses pengelolaannya di  tahun 2005 lalu, nama situ ini kemudian mulai resmi disapa sebagai Situ  Cibereum.
“Sejak saat itu, tidak hanya Perhutani saja yang mengelola, Masyarakat  di Desa Sukakarya juga ikut mengelola. Beberapa fasilitas seperti MCK, mushala, dan sejumlah gazebo atau bale dibangun pemerintah di sini. Berbagai kegiatan out door para pengunjung mulai ramai,” tukasnya.
Pembangunan fisik oleh pemerintah tidak hanya berupa infrastruktur fasilitas saja. Pada tahun 2010 kemarin, ja1an sepanjang 200 meter dari jaIan umum ke gerbang masuk dan jaIan setelah gerbang menuju titik lokasi Situ Cibereum kurang lebih berjarak mencapai 1,5 km juga diaspal.
Sementara itu, wacana pihak Perhutani KPH Garut untuk menjadikan kawasan Situ Cibereum sebagai kawasan kota di dalam hutan masih terkendala. Selaku pemilik lahan, harapan Perhutani untuk membuat lokasi Situ Cibereum berkonsep wisata di tengah hutan yang sebenarnya, hutan lindung  Gunung Guntur, selalu terbentur dengan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM).
Akibatnya, sekitar 60 persen berbagai fasilitas yang telah dibangun sebelumnya di kawasan Situ Cibereum  rnengalami kerusakan. Sejumlah coretan pengunjung yang tidak bertanggung jawab turut mewarnai semua  fasilitas yang terdiri dari MCK, gazebo, dan beberapa tempat peristirahatan berdinding bilik kayu di sana. Tidak  banya itu, minimnya perawatan membuat kondisi Situ Cibereum secara perlahan telah mengalami pendangkalan.
Kenyataan ini, tidak hanya membuat keterbatasan SDM yang dimiliki Pehutani menjadi satu-satunya penyebab kerusakan berbagai infrastruktur  fasilitas yang ada. Kecerobohan dan  rendahnya kesadaran para pengunjung juga ikut berpartisipasi dalam  percepatan proses kerusakan berbagai  fasilitas tadi. Meski begitu, dengan legowo pihak Perhutani tetap mengakui  keterbatasan SDM yang dimiliki sangat berpengaruh terhadap penge1o1aan dan perawatan kawasan Situ Cibereum.
Kepala Urusan Hukum Agraria dan Humas Perhutani KPH Garut, Jaenal Abidin, mengungkapkan, pihaknya sempat menggandeng investor swasta untuk mengatasi hal tersebut. Dengan kata lain, agar swasta ikut berperan mengelola kawasan situ yang  terletak tepat berada pada Petak 23 Resort Pernangku Hutan (RPH) Tarogong,  Bagian Kesatuan Pemangku Hutan  (BKPH) Leies, Hutan Undung Gunung  Guntur, Blok Legok Pulus, ini.
“Namun, karena berbagai dan lain hal, keterlibatan investor dalam pengelolaan masih belum bisa dilakukan.  Kita hanya bermasalah dalam keterbatasan SDM saja Berapa pun biaya  yang akan digunakan untuk membangun kawasan wisata, semisal pembangunan cottage di Situ Cibereum,  tetap tidak akan ja1an bila kita belum  memiliki SDM yang memadai untuk  itu,” terangnya.
Tujuannya, lanjut dia, pihak Perhutani akan termotivasi dan menjadikan konsep pengelolaan yang diterapkan  investor sebagai pembelajaran bila pihak swasta ikut serta memanage kawasan ini. Namun tetap saja, hadirnya  investasi dalam pengelolaan kawasan Situ Cibereum bukan berarti akan  membuat masyarakat desa yang selama ini telah menjalin kerjasama dengan Perhutani menjadi terpinggirkan.
“Kerjasama dengan investor bisa dilakukan bila semua hasilnya bersifat azas manfaat, tidak merusak lahan hutan lindung. dan tidak merugikan masyarakat sekitar. Bila merugikan, kerja sama dengan investor bisa dibatalkan. Tapi bila menguntungkan,  kenapa tidak. Masyarakat yang telah  lebih awal melakukan kerja sama dengan kami tetap akan dilibatkan dalam setiap prosesnya. Misalnya, ikut dan  menjadi bagian di sarana wisata Situ  Cibereurn,” paparnya.
Dijelaskan Jaenal, kerjasama dengan masyarakat sekitar bermula dari adanya kesepakatan antara Perhutani dan Paguyuban kepala desa se Kecamatan Semarang pada tahun 2005  lalu. Sejak saat itu, kerja sama yang  bersistem Pengelolaan Hutan Bersama  Masyarakat (PHBM) mulai dilakukan.
“Keterbatasan SDM kita dapat dilihat dari sangat kurangnya jumlah personel Perhutani KPH Garut. Sedangkan lahan hutan di Garut yang mesti ditangani sangat luas. Oleh karena itulah, peran masyarakat sangat diperlukan untuk membantu kita dalam menjaga hutan,” ungkapnya.
Menurut Jaenal, masyarakat tetap harus menyadari bahwa hutan di sekitar mereka merupakan lahan negara  yang dikelola Perhutani. Pemyataan  ini jelas tertera dalam Surat Keputusan (SK) No 419 Tahun 1999 yang menyatakan kawasan hutan dikelola Perhutani. SK ini diperkuat lagi dengan  SK No 195 Tahun 2003.
“Kesadaran akan kepemilikan ini dapat tercermin saat mantan Carnat Samarang, Aang Suhana, membuka  dan merawat kembali Situ Sibereum di tahun 2002 beberapa waktu lalu. Dengan jelas, ia tidak mengklaim wilayah itu sebagai milik pribadinya Justru ia mengajak masyarakat untuk melestarikan hutan, sehingga wisata kuliner dan wisata peristirahatan air panas yang memang sudah melegenda di  Garut itu dapat semarak,” papamya.  (ck-209/2)
Nama Media : PELITA
Tanggal       : Jumat, 27 Mei 2011, Hal. 7
TONE           : NETRAL