Lokasinya tak mudah dijangkau, jauh dari Jalan Utama Jonggol yang menjadi alternatif perjalanan ke arah Cianjur atau Bandung. Tempat itu cocok dijadlkan alternatif wisata warga Ibu Kota, baik yang sengaja berkunjung ke sana atau sebagai rekreasi tambahan dalam perjalanan menuju Kota Kembang. Buat warga Jakarta, menjangkau lokasi milik Perum Perhutani dapat melalui Jalan Alternatif Cibubur – Cileungsi (melintasi Taman Buah Mekarsari) kemudian perjalanan menuju arah Cianjur.

Cukup mudah menjangkaunya karena terdapat papan penanda lokasi. Suguhan lanskap elok, berupa hijaunya persawahan hingga kelok liku jalan. Sekitar 1 – 1,5 jam perjalanan dibutuhkan untuk menjangkau lokasi dari Cibubur yang berjarak sekitar 40 kilometer. Saat tiba di lokasi Anda akan melihat papan penunjuk arah di kanan jalan untuk memasuki kawasan wisata yang berada di sebelah kiri jalan. Perjalanan menukik pada medan bebatuan harus dilalui sebelum tiba di gerbang masuk kawasan wisata.

Siapkan biaya Rp 8.000 untuk tiket masuk plus biaya parkir Rp 4.000 untuk mobil atau Rp 2.000 untuk sepeda motor. Letak lokasi yang dipisahkan oleh aliran Sungai Cibeet mengharuskan kita meniti jembatan gantung yang terbuat dari anyaman bambu sepanjang 20 – 30 meter. Ayunan jembatan saat dilintasi memberi sensasi petualangan tersendiri, terlebih di bawahnya aliran sungai yang cukup deras menghantam bebatuan besar.

Kesan tenteram benar-benar terasa di sana. Kerindangan pepohonan menghadirkan kesejukan alami. Gemercik aliran sungai melegakan jiwa. Setelah melintasi jembatan gantung, perjalanan masih dilanjutkan untuk menuju lokasi penangkaran. Pada perjalanan yang mendaki dan menuruni perbukitan dalam hutan sekunder di sana, kita akan menjumpai satu per satu faslitas yang tersedia. Beberapa gazebo pelepas lelah serta sarana perkemahan. Tak jauh warung makan menyajikan menu ayam dan ikan goreng atau bakar. Toilet dan sarana ibadah juga tersedia.

Setelah menempuh perjalanan alam dengan medan menanjak dan berbatu lebih kurang 1 kilometer, saya pun tiba pada lokasi penangkaran rusa yang telah berdiri sejak tahun 1993 tersebut. “Penangkaran ini sudah ada sejak tahun 1993, namun baru menjadi lokasi wisata yang terbuka untuk umum tahun 2000,” ujar Agus Supriyanto (33), petugas penangkaran.

Saya pun memasuki lokasi penangkaran berupa padang rumput hijau lengkap dengan hutan lindung tempat rusa beristirahat seluas 5 hektar yang telah dipagari sekelilingnya. Saat memasuki area kita harus melalui semacam panggung kayu setinggi 1,5 meter yang berujung pada area panggung yang lebih besar berukuran 3 meter x 3 meter. Silakan pilih, mau lihat rusa dari atas atau terjun langsung mendekati.

Kudapan singkong
Saran saya berinteraksi langsunglah yang sebaiknya dipilih karena tidak banyak tempat penangkaran rusa yang menyediakan fasilitas itu. Agus menjamin rusa yang ada di sana telah jinak dan aman. Memang tidak mudah untuk mendapatkan perhatian dari kawanan hewan yang dapat memiliki tanduk panjang bercabang. Mungkin hanya satu atau dua rusa yang sudah tidak malu-malu lagi berinteraksi dengan pengunjung.

Namun dengan didampingi oleh penjaga penangkaran menjadi tidak masalah. Dengan menggunakan suara panggilan khusus, hewan-hewan tersebut segera menghampiri Agus yang telah siap dengan singkong yang menjadi makanan pelengkap buat mereka. Sungguh menarik melihat kawanan rusa datang menghampiri kita. Saya pun tak mau ketinggalan memberikan kudapan sore pada mereka.

“Makanan pokok mereka sebenarnya adalah rumput. Tapi setiap sore biasanya dikasih pakan tambahan, seperti ubi, singkong, dan dedak,” Jelas Agus. Sebagai hewan nocturnal atau hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari, pemberian makanan pada sore hari bertujuan untuk menunjang kegiatan mereka pada malam harinya. “Malam hari memang saat mereka sibuk. Kalau siang mereka istirahat di dalam hutan, makanya jarang kelihatan pada siang hari,” ujar pria yang telah 11 tahun menjadi petugas di penangkaran rusa tersebut.

Pada tempat tersebut terdapat 65 ekor rusa dari tiga jenis yang berbeda. Pertama jenis Rusa Jawa/Timor (Axis Timorensis) yang merupakan rusa endemik Indonesia yang diperkirakan berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Rusa jenis ini memiliki tubuh yang leblh kekar ketimbang jenis lainnya.

Jenis kedua adalah Rusa Totol (Axis axis) karena memilki corak totol putih pada bagian tubuhnya yang merupakan jenis rusa dari kawasan Nepal, India, dan Srilanka. Rusa totol memiliki bentuk dan gestur tubuh yang paling elegan dan cantlk.

Dan terakhir yang memiliki ukuran paling kecil dan ekor lebih pendek dengan ujung berwarna putih serta pemalu, Rusa Bawean. Rusa jenis ini merupakan hewan endemik pulau Bawean di utara Jawa Timur. Menemukan rusa jenis ini memang sulit karena mereka sangat sensitif dengan kehadiran manusia dan lebih sering berdiam diri dalam hutan jika siang hari.

Bisa dijual
Jumlah rusa di sana disebutkan Agus memang sengaja dibatasi pada kisaran 60 hingga 70 ekor saja. karena idealnya 1 hektar hanya dapat menampung 15 rusa. “Jika melebihi populasi biasanya kita jual rusa tersebut. Tentunya resmi dan memiliki surat izin yang jelas,” ujar penjaga yang telah 11 tahun menjaga penangkaran tersebut.

Penjualan rusa memang tidak sembarangan karena calon pembeli harus memenuhi persyaratan pemeliharaan rusa. Sebagai contoh lahan yang memadai. Agus menuturkan, biasanya rusa-rusa tersebut ia dijual sepasang. Untuk sepasang Axis timorensis dijual Rp 15 juta. Sedangkan untuk Axis axis dijual lebih mahal seharga Rp 18 Juta. Untuk jenis Bawean masih sulit untuk penjualannya karena jumlahnya yang lebih terbatas menjadikan perizinannya masih sulit.

“Untuk tahun ini memang belum ada penjualan karena jumlah rusa belum melebihi kapasitas. Tahun 2013 kita akan buka penjualan,” tutur bapak tiga orang anak tersebut.

Menurut Agus pemeliharaan rusa relatif gampang karena daya tahan tubuhnya kuat asalkan makannya terjamin. Dalam setahun biasanya rusa dapat melahirkan hingga dua kali. “Untuk jenls Axis axis dan Bawean masa hamilnya hanya 6 bulan, tapi jenis Timor 9 bulan,” jelas Agus.

Ia melanjutkan usia produktif rusa dimulai sejak usia 2 tahun. Sedangkan untuk usia hidup rusa, Agus mengatakan bahwa dalam penangkaran mereka dapat mencapai usia 20 tahun. Sedangkan jika di alam bebas mereka bisa hingga 40 tahun.

Untuk membedakan jenis kelamin pada rusa kita dapat melihat dari adanya ranggah (semacam tanduk) di kepalanya. “Disebut ranggah karena tidak permanen dan dapat tanggal serta tumbuh kembali,” jelasnya.

Agus menerangkan keseluruhan luas areal wisata di sana adalah 11 hektar. “Lima hektar untuk penangkaran rusa, empat hektar perkemahan, serta dua hektar areal padang rumput untuk pakan rusa” ujarnya.

Agus menyarankan jika pengunjung ingin melihat semua jenis rusa di sana sebaiknya datang pada pagi hari atau sore hari. “Pagi jam 07.00-07.30 atau sore jam 16.00” katanya.

Selam penangkaran rusa, tempat wisata yang memiliki jam operasional dari pukul 07.00 hingga 17.00 ini juga menyediakan fasilitas perkemahan, outbound, hiking, hingga acara luar ruangan semacam pesta pernikahan.

Tertarik untuk menghadirkan rekreasi alternatif berkualitas ini pada keluarga, segera kunjungi Wana Wisata Pendidikan Penangkaran Rusa Cariu. Atau hubungi dahulu nomor 081912183813 dengan Agus Supriyanto atau (022) 61006009 denga Cepy untuk info selengkapnya. (m11)

Warta Kota :: 15 Juli 2012, Hal 10