Bagi orang-orang di Desa Bantaragung, Majalengka, Jawa Barat, turun gunung merupakan keputusan yang berat. Itu berarti bakal kehilangan mata pencarian. Namun, kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan membuat mereka turun gunung untuk menjaga kampung dari bencana. Cuaca cerah di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Resort Bantaragung, Kecamatan Sindangwangi. Di bawah pondok bambu, sembilan orang menyantap gurihnya mujair goreng suguhan ibu-ibu pengelola kantin obyek wisata alam Curug (air terjun) Cipeuteuy.

Dari kejauhan, segerombolan muda-mudi bercengkerama di bangku-bangku bambu. Sebagian asyik berkecipak air di kolam yang menampung curahan air terjun setinggi 10 meter (m) yang oleh warga setempat dinamai Curug Cipeuteuy. Obyek wisata itu sederhana tetapi toiletnya bersih, dilengkapi enam pondok mungil untuk beristirahat. Ada lima curug yang ada di wilayah itu, tingginya masing-masing 3 m, 6 m, 7 m, 10 m, dan 30 m. Dari curug-curug itu, hanya curug berketinggian 3 m, 6 m, dan 10 m yang telah dikelola menjadi obyek wisata. Sisanya masih alami, dengan rimbun ilalang dan air menyembul dari celah tanah bukit.

Kekurangan paling menonjol adalah jalan akses sejauh 5 kilometer yang kondisinya rusak berat. Jalan selebar kurang dari 2 m itu sebagian berupa jalan batu (makadam) dengan tanjakan dan turunan tajam. “Ya, inilah penghidupan kami sekarang. Kami memulainya dari nol dengan dukungan dan ide-ide dari Pak Danres (Komandan Resor),” kata Marta Atmadja (55), Ketua Koperasi Agung Lestari, Selasa (20/3/2012). Pak Danres Bantaragung bernama Dadan (39) yang disebut- sebut Marta rupanya tak mendengar dan masih asyik berselonjor kaki.

Obyek wisata curug itu dibangun atas inisiatif penduduk sebagai kompensasi atas larangan merambah hutan dan bertanam sayuran di wilayah TNGC. Mereka amat kehilangan saat pemerintah mengubah status Gunung Ciremai dari hutan lindung menjadi taman nasional pada 2004. Perubahan status itu berimbas pada peralihan pengelola, yakni dari Perum Perhutani kepada Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

Warga Bantaragung terpaksa ”turun gunung”. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dikembangkan Perhutani tidak bisa lagi diterapkan. Sebagai wilayah taman nasional, hutan di Ciremai hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan konservasi, jasa lingkungan, dan wisata alam. Tanaman tumpang sari warga seperti bawang merah, jagung, cabai, wortel, dan brokoli, yang ditanam di sela-sela pinus, harus ditinggalkan. Bersama itu, pembalakan liar yang sudah menjadi rahasia umum kerap dilakukan warga di kawasan hutan—serta oknum berbaju seragam—juga mesti distop. Mereka yang turut bersantap pada siang itu adalah juga perambah hutan dan pemburu yang dulu menentang perubahan status.

”Awalnya berat sekali. Namun, mau bagaimana lagi. Kami takut air terus susut bila hutan terus ditebangi,” kata Juha (50), penduduk Bantaragung yang lihai berburu babi hutan ini. Membujuk warga Bantaragung turun gunung bukanlah perkara mudah. Setelah resmi dikelola Balai TNGC pada 2007, mantri hutan yang baru mesti bekerja keras mengamankan hutan seluas 1.472 hektar dari penjarahan. ”Perlu diskusi berkali-kali untuk meyakinkan warga bahwa turun gunung adalah penting. Saya tak menakut-nakuti warga agar mau turun. Itu berawal dari kesadaran mereka sendiri,” kata Dadan, Kepala Resort Bantaragung.

Setengah terpaksa juga karena aturan baru, warga perlahan menyadari suplai air di kampung mereka terus susut sejak kawasan itu menjadi hutan produksi. Dulu, Situ Sang Hyang dan Sungai Batugending yang melintasi kampung mereka kedalamannya sampai 2 meter. Sebuah curug besar berketinggian lebih dari 30 m juga ditemukan di Bukit Larang di wilayah Bantaragung.

Kini, air curug itu kian kecil dan tak deras. Sungai tinggal menyisakan air setinggi 5 cm saat kemarau. Pipa-pipa air untuk suplai warga menerobos masuk hingga ke areal hutan. ”Padahal, dulu air tak harus diambil dari atas sebab di bawah juga banyak mata air. Kini sumber air banyak yang mati,” ungkap Sunarsa (33), Kepala Dusun II Bantaragung.

Setelah didekati selama dua tahun, warga bersedia turun gunung. Sebagai gantinya, mereka meminta rekomendasi pengelolaan obyek wisata. Petinggi TNGC menyepakatinya. Pada Mei 2010, pembangunan Curug Cipeuteuy dimulai oleh penduduk setempat. Biayanya berasal dari kantong masing-masing. Ada 8 warga yang turut menyumbang, dari Rp 750.000, Rp 2 juta, sampai Rp 20 juta.

Warga lainnya menyumbang tenaga untuk membangun undak-undakan, membabat ilalang, membuat tiga jalur trekking dan kolam, serta mendirikan pondokan, kantin, bangku, sampai tempat penarikan karcis. Pemerintah Kabupaten Majalengka menyumbang tiga pondok berukuran 4 meter persegi, mendirikan gapura, dan memperbaiki jalan sejauh 1 km. Kini, dalam sepekan obyek wisata itu mendapatkan rata-rata Rp 1 juta. Setiap pengunjung dikenai karcis masuk Rp 4.000. Obyek wisata itu menyerap 40 keluarga, mulai dari petugas keamanan dan kebersihan, pengelola kantin, penarik karcis, sampai pemandu wisata. Jumlah tenaga itu sedikit jika dibanding 372 keluarga perambah yang dulu bergantung pada hutan.

Namun, betapapun sulitnya kehidupan setelah hutan ”ditutup”, warga mematuhi aturan. Mereka yang tak terlibat dalam pengelolaan wisata kini fokus mengelola kebun di luar hutan. Jika dulu mengelola kebun adalah sampingan, kini menjadi usaha inti. Hasilnya adalah singkong, pisang, cengkeh, dan buah-buahan, seperti durian dan kapundung (anggur hutan)—tanaman endemik di Ciremai. Yanto (58), Ketua Masyarakat Pariwisata Gunung Ciremai, menyuarakan batin warganya dengan polos, ”Kami lebih baik turun saja menjaga lembur (kampung). Kasihan anak-cucu kami nantinya jika tidak kebagian air….” (Rini Kustiasih)

Kompas.com ::: Senin, 2 April 2012 | 15:49 WIB